Metaranews.co, Kediri- Langit sore di atas Pura Setya Dharma tampak berawan. Meneduhkan rumah ibadah umat Hindu di Desa Sekaran, Kecamatan Kayenkidul, Kabupaten Kediri. Suasana hening. Pengendara motor yang melintas juga tak begitu ramai.
Cahaya kekuningan dari barat mulai berubah jingga. Menyorot daun janur melengkung yang ada pada beberapa rumah warga. Rumah-rumah berjanur apakah itu? Ternyata tanda rumah milik umat Hindu yang sedang merayakan Nyepi. Tak cuma berjanur, warga yang merayakan Nyepi masih terlihat menutup pagar, pintu, dan jendela pada Kamis (3/3) sore.
Uniknya, Pura Setya Dharma dan rumah warga Hindu itu diapit oleh dua masjid yang cukup berdekatan. Di sisi barat pura, ada Masjid Baitul Muttaqin. Sedangkan di sebelah timur, ada Masjid Al-Fattah.
Menjelang waktu salat Asar itu, toa yang berada di kedua masjid tersebut hanya ada suara anak-anak yang sayup-sayup mengumandangkan adzan. Lantunan adzan dari Masjid Al-Fattah itu pelan. Ternyata, begitulah kebiasaan warga sekitar ketika umat Hindu sedang merayakan nyepi.
“Sudah begini kebiasaannya,” ungkap Supriyanto, warga sekitar Pura Setya Dharma.
Sebagai minoritas di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Kediri. Kampung warga Hindu mempunyai kecenderungan di daerah lereng gunung. Seperti di Kecamatan Kandangan, Puncu, Kepung, Ngancar, yang merupakan lereng Gunung Kelud. Ada juga di Kecamatan Banyakan, yang merupakan lereng Gunung Wilis. Namun berbeda dengan umat Hindu di Desa Sekaran, Kecamatan Kayenkidul ini berada di dataran rendah.
Mengapa demikian? Hal ini diungkapkan Didin Saputro, Wakil Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4). Ia menilai keberadaan umat Hindu di dataran rendah ini menunjukkan adanya peradaban Hindu sejak ratusan tahun silam. Termasuk pada zaman Kerajaan Kediri.
Jika ditarik garis lurus, kata Didin, Desa Sekaran lokasinya sekitar 600 meter di utara aliran Sungai Serinjing. Suangai tersebut merupakan sungai bersejarah yang ada di Kabupaten Kediri. Tak hanya itu, terdapat peninggalan purbakala berupa prasasti kuno. Yakni, Prasasti Tangkilan yang terletak di Dusun Tangkilan, Desa Padangan, Kecamatan Kayenkidul.
“Kemungkinan kuat demikian, secara sosiologis masyarakat dengan kepercayaan Hindu masih berada di dataran rendah seperti di Sekaran ini,” terang Didin.
Ia menuturkan Prasasti Tangkilan ini diterbitkan pada masa pemerintahan Raja Kediri yakni Sri Maharaja Bameswara tahun 1130 Masehi atau 1052 Saka. Hal itu ditunjukkan dengan adanya lambang dari Raja Bameswara yakni Candra Kapala Lancana atau lambang berupa tengkorak menggigit bulan sabit.
Prasasti Tangkilan sebagian masih dapat dibaca, namun hingga kini masih belum diterbitkan bacaannya. Yang jelas, prasasti ini dikeluarkan untuk pengingat penganugerahan tanah sima di daerah tersebut.
“Bukan hal tidak mungkin bahwa kawasan ini merupakan daerah yang memiliki peradaban kuno. Di prasasti juga disebutkan Wanua Tangkilan (sekarang menjadi Dusun Tangkilan, Red),” imbuh pria asli Kediri ini.
Tak jauh dari situs ini, ada satu lagi benda yang menarik perhatian. Yakni, sebuah jobong sumur kuno. Dari keterangan warga, jobong sumur tersebut terkenal dengan nama Sumur Mbah Gilang. Keberadaan Prasasti Tangkilan beserta penemuan benda purbakala lain di kawasan ini menjadi bukti kuat bahwa kawasan tersebut merupakan daerah kuno. Tepat di sebelah aliran Sungai Serinjing yang dikenal sebagai sarana kemakmuran masyarakat Kediri dulu hingga saat ini. (Tyo)