Metaranews.co – Prof Mohammad Yamin dalam karyanya ‘Tan Malaka Bapak Republik Indonesia’ menulis: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai, atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi Filipina pecah….”.
Inilah bukti bahwa Tan Malaka bukan sosok sembarangan. Dia diakui keberadaannya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Berjuang tanpa pamrih bagi kemerdekaan Merah Putih, meski akhirnya harus tewas di tangan bangsanya sendiri.
Almarhum Tolu (84), lelaki yang menjadi saksi kunci tentang misteri kematian Tan Malaka kembali bercerita kepada penulis pada tahun 2006 lalu. Tolu merupakan warga Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.
Meski agak bersusah payah untuk sekadar mengingat kejadian 64 tahun silam, Tolu tergolong lelaki cerdas.
Berbekal bantuan nama-nama yang dibawa penulis yakni tentang Brigade S dan foto-foto pasukan Brigade S, Tolu kembali teringat tentang Sutan Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka, lelaki kelahiran Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897.
“Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan saking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu,” ingat Tolu.
Lalu ke mana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setelah pasukan TRI meninggalkan desa?
“Saya tidak tahu itu, sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh,” tambahnya.
Menurut Tolu, tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya.
Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung, orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung, dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar tepat di belakang rumahnya.
“Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung, dan ada satu lagi di bawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya,” ungkapnya.
Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung, dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud.
Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di Kaku Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, akhirnya sampailah di makam yang dimaksud.
Dari kejauhan, penulis melihat ada makam dalam sebuah lembah yang terlihat angker. Akhirnya kami turun dengan dipandu Syamsuri.
Penulis mengamati satu per satu makam tua yang ada tempat tersebut, memang benar apa yang diceritakan Tolu, ada dua pohon kamboja tua di tempat tersebut.
“Itu pohonya yang paling tua adalah makam Mbah Selopanggung, orang yang pertama kali membuka daerah ini, dan ini adalah makam misteri yang yang dimaksudkan Pak Tolu itu,” kata Syamsuri menunjukkan makam yang dimaksud, yang hanya berjarak tiga meter dari makam Mbah Selopanggung.
Dalam hati kecil saya berkata, sangat dimungkinkan makam tersebut adalah makam Tan Malaka.
Sebab, jika ditarik garis lurus dengan tempat tinggal Mbah Yasir, yang digunakan tempat tinggal pasukan Brigade S, lokasi makam tersebut pas sekali.
Dan di situlah patut diduga makam Tan Malaka setelah ditembak mati oleh Letnan Dua Sukotjo, yang juga mantan Wali Kota Surabaya itu.
“Zaman dulu kan belum ada nisan seperti sekarang ini, orang dulu hanya mengingat lokasinya dan biasanya ditandai dengan pohon kamboja,” kata Syamsuri.
Keberadaan makam misteri tersebut juga dibenarkan Almarhum Sukoto (90), warga Selopanggung seangkatan Tolu yang pernah menjadi kurir Brigade Sikatan.
“Makam tua hanya satu yakni makam Mbah Selopanggung, seingat saya makam kedua itu muncul setelah pasukan TRI meninggalkan desa kami,” kata Sukoto yang ditemui penulis usai mendatangi makam misteri di lembah atau yang lebih dikenal di Selopanggung dengan nama makam ledokan itu.
Penulis sendiri pernah mendampingi Harry A Poeze, sejarawan, penulis, dan peneliti berkebangsaan Belanda.
Harry A Poeze dikenal karena meneliti secara mendalam mengenai Tan Malaka, pahlawan Nasional Indonesia. Harry lahir di Loppersum pada 20 Oktober 1947.
Kala itu, Harry juga didampingi Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
“Meskipun agak berbau mistis, ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini, Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini, dugaan kami ini kuat. Sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S,” ujar Poeze kepada penulis.
Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat di timur lokasi, di mana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis, sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.
Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang meninggal dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas, Desa Petok, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Poeze mambantah keras.
“Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka, tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung,” katanya.
Hingga sekarang pun di mana makam Tan Malaka terus menjadi misteri. Tan Malaka memang menghilang namun namanya tetap dikenang.
*Ditulis oleh Ketua DK4 Kabupaten Kediri, Imam Mubarok. Artikel ini pernah dimuat di buku ‘Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’ jilid 4 karya Harry A Poeze