Metaranews.co, Kabupaten Blitar – Pasangan suami istri Muhtaromin (45) dan Dewi Laila (39), warga Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, sukses menekuni kerajinan gerabah tanah liat.
Pasutri yang sudah dikaruniai lima anak itu minimal bisa memproduksi lebih dari 2.000 biji gerabah tanah liat, dengan omzet Rp 8 juta hingga Rp 12 juta per bulan.
Sejak kecil, Muhtaromin dan istrinya, Dewi Laila, memang sudah akrab dengan kerajinan gerabah. Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, bisa dibilang satu-satunya sentral kerajinan gerabah tanah liat di Kabupaten Blitar.
Kerajinan gerabah sudah berkembang sejak puluhan, bahkan ratusan tahun silam, di lingkungan tempat kelahirannya di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar.
Sampai sekarang, kerajinan gerabah di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, masih bertahan secara turun temurun.
Hampir 80 persen warga di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, menjadi perajin gerabah.
Ada sekitar 200 kepala keluarga (KK) di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan. Hal itu pula yang mendorong Muhtaromin dan istrinya, Dewi Laila, ikut menekuni kerajinan gerabah.
“Salah satu alasan saya fokus di kerajinan gerabah agar kerajinan warisan dari leluhur ini tetap eksis, jangan sampai mati. Kerajinan ini juga menjadi sumber peningkatan ekonomi kami,” kata Muhtaromin saat ditemui di sela-sela memproduksi gerabah di rumahnya, Jumat (10/5/2024).
Pagi itu, Muhtaromin dan istri, Dewi, tampak sedang memproduksi gerabah di belakang rumahnya. Mereka membuat kerajinan gerabah tempat makan kelinci atau biasa disebut cuwo kelinci.
Mereka berbagi tugas. Istrinya, Dewi, yang mencetak tempat makan kelinci. Sedangkan Muhtaromin yang melakukan finishing. Mereka memproduksi gerabah masih dengan cara tradisional, yaitu menggunakan meja putar.
Tangan istri Muhtaromin, Dewi, terlihat luwes mencetak tempat makan kelinci. Kedua tangan Dewi tidak berhenti bergerak memoles adonan tanah liat dan pasir sungai yang diletakkan di meja putar.
Dalam hitungan menit, Dewi sudah menyelesaikan pembuatan tempat makan kelinci dengan sempurna.
“Membuat kerajinan gerabah kalau pikiran tidak tenang ya tidak bisa jadi. Kalaupun jadi hasilnya tidak sempurna, tidak presisi,” ujar Muhtaromin.
Muhtaromin mulai fokus menjadi perajin gerabah sebenarnya belum lama, mulai tahun 2019. Sebelumnya, ia bersama keluarga sempat merantau menjadi tukang potong rambut di Bali.
Ia dan keluarga merantau di Bali sejak 2012 sampai 2018. Setelah pulang merantau, Muhtaromin dan istri memutuskan fokus menjadi perajin gerabah.
“Tapi saya dan istri sejak dulu sudah bisa membuat kerajinan gerabah. Rata-rata warga di sini bisa membuat kerajinan gerabah, itu sudah turunan dari leluhur. Orang tua dan mbah-mbah saya dulu juga perajin gerabah,” katanya.
Ketika memutuskan menjadi perajin gerabah, Muhtaromin langsung fokus membuat tempat makan kelinci. Karena, warga di Dusun Precet masih belum ada yang membuat gerabah tempat makan kelinci.
Mayoritas warga di Dusun Precet membuat kerajinan gerabah peralatan dapur seperti mangkok, kuali, piring, dan wajan, serta pot bunga.
Muhtaromin bercerita, mulanya memproduksi gerabah tempat makan kelinci juga tidak semulus bayangannya. Ia pernah mengalami produksi gerabah tempat makan kelinci miliknya tidak laku selama enam bulan di awal-awal produksi.
Tapi, Muhtaromin tidak berhenti memproduksi gerabah tempat makan kelinci.
“Ketika terjadi pandemi, gerabah tempat makan kelinci baru laris terjual. Malah, saya sampai kewalahan melayani pesanan, banyak yang saya tolak,” tuturnya.
Menurutnya, pandemi Covid-19 yang mulai masuk di Indonesia pada 2020 memang menjadi puncak panen bagi perajin gerabah di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan.
Permintaan kerajinan gerabah terutama pot bunga dan tempat makan kelinci naik berlipat-lipat ketika pandemi.
Bahkan, hampir semua perajin gerabah di Dusun Precet untuk sementara memproduksi pot bunga, karena saking banyaknya permintaan dari pelanggan ketika pandemi.
Kerajinan gerabah tempat makan kelinci milik Muhtaromin juga meningkat sekitar 700 persen ketika pandemi.
“Karena waktu pandemi orang dilarang keluar rumah, akhirnya cari kesibukan di rumah dengan menanam bunga dan memelihara hewan,” paparnya.
Sekarang, kondisi kerajinan gerabah di Dusun Precet, Desa Plumpungrejo, Kecamatan Kademangan, kembali normal.
Tidak semua perajin membuat pot bunga. Perajin yang biasa memproduksi peralatan dapur kembali membuat peralatan dapur.
Tapi untuk produksi tempat makan kelinci milik Muhtaromin sampai sekarang masih ramai pesanan. Tiap bulan, ia rata-rata masih bisa memproduksi sebanyak 1.500 biji tempat makan kelinci untuk dijual.
Pesanan tempat makan kelinci dalam jumlah besar paling banyak dari Surabaya, Mojokerto, Tangerang, dan Bekasi.
Sedangkan pesanan eceran paling banyak dari Batu, Malang, Tulungagung, dan Kediri. Selain tempat makan kelinci, ia juga memproduksi cobek untuk sambal gami atau sambal bakar.
Pesanan cobek sambal gami di tempat Muhtaromin juga lumayan banyak. Dalam sebulan, ia bisa memproduksi 800-900 biji cobek sambal gami untuk dijual.
“Kalau penjualan khusus cobek sambal gami kebanyakan ke luar pulau, seperti Makassar, Manado, Kalimantan, dan Sumatera,” ujarnya.
Harga jual tempat makan kelinci dan cobek sambal gami bervariasi tergantung besar kecil ukurannya.
Ia menjual tempat makan kelinci dan cobek mulai harga paling murah Rp 1.500, Rp 2.500, Rp 5.000, sampai harga paling mahal untuk kualitas bagus Rp 45.000 per biji.
“Kalau dibikin rata-rata, omzet saya dari penjualan kerajinan gerabah bisa Rp 8 juta sampai Rp 12 juta per bulan,” ungkapnya.
Muhataromin sering memproduksi kerajinan gerabah hanya bersama istri, Dewi. Ia baru menambah pekerja kalau ada pesanan banyak dan pelanggan minta cepat.
“Saya nambah pekerja juga pilih yang sudah bisa (membuat kerajinan gerabah), biasanya keponakan-keponakan sendiri,” tutupnya.