Diskriminasi bagi penyandang disabilitas terang-terangan terjadi. Komunitas aktivis penyandang disabilitas di Kabupaten Kediri memperjuangkan payung hukum di level daerah. Gayung bersambut.
Metaranews.co, Kabupaten Kediri – PRIA dengan kruk itu berdiri depan anak tangga terbawah lantai 1 gedung Pemerintah Kabupaten Kediri pada Selasa (1/11/2023) pagi itu. Mereka mendongak mengamati Ruang Tegowangi yang berada di lantai 3. “Wah, susah juga,” gumam Amat Setyo Basuki, salah seorang pria itu, sembari tersenyum getir.
Deretan anak tangga yang biasa dilalui Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemkab Kediri dengan ringan. Namun begitu terasa berat bagi dua pria ini: Basuki yang menggamit dua kruk serta Riyamat dengan satu kruknya.
“Ayo Pak,” kata Riyamat. Mendahului Basuki, dia bergegas mengayunkan kruk yang menggantikan kaki kanannya. Riyamat menaiki tangga pertama dengan satu kruk yang dikendalikan tangan kanan.
Di belakangnya, Basuki mengikuti. Dua kruk diangkat bersamaan. Menopang berat badannya yang mencapai 84 kilogram. Hinggap pada anak tangga di atasnya. Diikuti oleh kakinya yang tinggal sebelah kanan. Berhenti sejenak. Gerakan itu diulangi lagi. Satu demi satu anak tangga.
Setelah track lurus menanjak dengan belasan anak tangga, mereka harus berbelok lalu naik untuk mencapai lantai dua. Belum selesai di situ, masih ada satu lantai lagi menuju ruang Tegowangi.
Perlu waktu cukup lama untuk sampai ke ruang Tegowangi. “Harus pelan-pelan, karena ‘kan lantainya keramik,” kisah Basuki.
Saat kembali turun tangga, menurut Basuki, tantangannya justru lebih susah lagi. Sebab, kruk harus ikut mengerem. Menjaga agar tidak tergelincir dengan kondisi lantai keramik yang licin. Sementara, kedua tangan susah berpegangan, karena mengendalikan kruk.
Demikian perjuangan penyandang disabilitas daksa kala menghadiri undangan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kediri pada acara undangan Fasilitasi Forum Pengurangan Resiko Bencana. Menggambarkan fakta jika fasilitas publik tak ramah pada penyandang disabilitas, bahkan di pusat pemerintahan di Kabupaten Kediri yang seharusnya menjadi contoh fasilitas publik lainnya.
Seharusnya, ada akses kursi roda bagi disabilitas daksa di gedung Pemkab yang merupakan fasilitas publik. Baik berupa lift maupun akses bidang miring yang landai. “Gedung Pemerintah Kabupaten Kediri ini mestinya bisa menjadi contoh untuk gedung yang ramah disabilitas, baru diikuti jajaran di bawahnya dan swasta,” kata Basuki.
Tak hanya gedung Pemkab, sebagian besar fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta di Kabupaten Kediri tak ramah disabilitas. Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) menjadi contoh. Dari tempat parkir menuju monumen tak ada akses jalan miring untuk kursi roda. Tak pelak, penyandang disabilitas daksa memerlukan bantuan orang untuk mengangkat kursi roda mereka, saat menuruni atau menaiki anak tangga.
“Bangunan SLG sangat tidak ramah disabilitas. Saya pernah menghadiri beberapa acara juga kesulitan untuk naik dan turun tangga,” kata Sri Utami, penyandang disabilitas daksa.
Bukan hanya minimnya akses untuk kursi roda. Berbagai fasilitas publik di Kabupaten Kediri juga mengabaikan toilet untuk penyandang disabilitas. Ukuran pintu toilet tak cukup untuk dimasuki kursi roda. Kondisi ini tentu menyulitkan penyandang disabilitas.
Menik penyandang disabilitas daksa yang suka rekreasi kerap mengalaminya. Maksud hati berwisata untuk refreshing, namun ada sisi yang terkadang menyiksa. “Kami seringkali terpaksa menahan pipis, karena toilet di tempat wisata di Kediri hampir semuanya tak bisa kami gunakan. Jadi sebisa mungkin minumnya nggak banyak-banyak,” ujar Menik sembari tertawa kecil.
Hanya sedikit fasilitas publik yang berpihak pada penyandang disabilitas. Padahal, pasal 18 Undang Undang nomor 8/2016 menyebutkan hak aksesibilitas para-penyandang disabilitas meliputi hak: mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.
Jumlahnya Meningkat, Hak Penyandang Disabilitas Masih Terabaikan
Jumlah para penyandang disabilitas di Kabupaten Kediri bertambah setiap tahun. Catatan Dinas Sosial Kabupaten Kediri, pada tahun 2024 terdapat 7.289 orang dari berbagai jenis disabilitas. Naik cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya, yakni 6730 penyandang disabilitas. Penyebab peningkatan beragam. Dari faktor kelahiran hingga akibat kecelakaan.
“Jumlah tersebut tentu sangat banyak apabila terus tidak diperhatikan dan terdiskriminasi tanpa ada jaminan perlindungan hak-haknya,” ungkap Umi Salamah, Ketua Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri (PDKK).
Meski penyandang disabilitas dilindungi oleh UU nomor 8/2016 tentang Perlindungan Disabilitas, namun penerapannya jauh panggang dari api. Negara belum menerapkan regulasi yang mereka tetapkan secara optimal. Terlebih, di tingkat daerah. “Jangankan kok penerapan, banyak Pemerintah Daerah di Indonesia yang nggak kenal juga kalau ada Undang-Undang seperti itu,” kata Umi Salamah.
Diskriminasi terus dialami penyandang disabilitas. Bukan sekadar akses fasilitas publik, diskriminasi juga dialami di sektor ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan dan berbagai layanan publik.
Berbicara kesempatan kerja misalnya, menurut Umi, perusahaan di Kediri sama sekali tak melirik penyandang disabilitas. Padahal, proporsi bagi penyandang disabilitas ini seharusnya 1 persen bagi swasta lalu 2 persen bagi instansi pemerintahan. “Itu mengacu pada UU no 8/2016. Implementasinya, di daerah belum diterapkan. Padahal, banyak penyandang disabilitas yang sangat berkompeten,” tambah Umi.
Di instansi pemerintahan, menurut Umi, ada satu penyandang disabilitas yang bekerja di Dinas Sosial Kabupaten Kediri. “Namun secara keseluruhan, porsi penyandang disabilitas di instansi Kabupaten Kediri masih kurang dari 2 persen,” katanya.
Begitu juga dengan hak pelayanan kesehatan. Banyak penyandang disabilitas tidak mendapatkan BPJS Kesehatan. Masalah lainnya, mayoritas fasilitas kesehatan tak inklusi terhadap penyandang disabilitas. “Misalnya, mayoritas rumah sakit tak menyediakan penerjemah untuk tuna rungu, sehingga penyandang disabilitas kesulitan untuk berkomunikasi dengan tenaga medis,” ujarnya.
Perihal fasilitas publik yang jadi sorotan adalah sektor pariwisata. Hampir semua wahana wisata di Kabupaten Kediri tak ramah disabilitas. Sebenarnya, ada yang memberikan akses untuk kursi roda, seperti Taman Hijau Simpang Lima Gumul. “Namun, bidang miringnya masih terlampau curam, sehingga membahayakan keselamatan penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda,” tutur Umi.
Persoalan pelik lain adalah sektor pendidikan. Kesetaraan pendidikan bagi disabilitas belum optimal. Belum ada sekolah umum di Kabupaten Kediri yang inklusi dan memberikan ruang pada penyandang disabilitas. Problem lainnya adalah anak-anak dari penyandang disabilitas yang kesulitan biaya pendidikan.
Sederet masalah yang dialami oleh penyandang disabilitas ini ditabulasi oleh staf pengajar Universitas Airlangga Dr Erna Setyowati. Mulai dari problematika pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Menurut Erna, penyandang disabilitas kerap dihantui oleh sikap yang apatis, dikucilkan oleh keluarga serta dicap stigma negatif oleh masyarakat.
“Sementara yang berkaitan dengan negara, disabilitas banyak bermasalah dengan akses pelayanan publik, informasi dan pendidikan. Itu umum terjadi di Indonesia,” ungkap Erna.
Banyaknya sarana publik yang kurang bisa diakses oleh disabilitas. Selain toilet umum yang tak bisa diakses kursi roda, traffic light yang hanya menunjukkan warna serta tak bisa diakses disabilitas tuna netra, karena tak ada suara. “Lalu, banyak teman yang mengeluhkan, taman-taman yang tidak pro disabilitas,” ujar Erna.
Perjuangan Mengadvokasi Penyandang Disabilitas
Menghadapi ragam masalah disabilitas ini, PDKK melakukan berbagai aksi advokasi. Di sektor ketenagakerjaan, PDKK melakukan audiensi dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Kediri. PDKK mendesak Disnaker memperjuangkan penyandang disabilitas yang kompeten agar bisa direkrut oleh perusahaan.
PDKK juga meminta Disnaker memberikan pelatihan keterampilan pada penyandang disabilitas. Bekal keterampilan tersebut bisa membuka usaha serta lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas. Misalnya menjahit, kuliner serta berbagai kerajinan.
“Karena itu, PDKK juga audiensi dengan Dinas Kopusmik (Dinas Koperasi dan Usaha Mikro) Kabupaten Kediri agar ikut membantu penyaluran dan pengembangan UMKM disabilitas,” ujarnya.
Advokasi di sektor kesehatan juga dilakukan oleh PDKK dengan melakukan audiensi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri agar memperhatikan akses bagi penyandang. “Kami juga bertemu pihak BPJS untuk memberikan jaminan kesehatan untuk disabilitas,” tuturnya.
Apa yang dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gumul Kabupaten Kediri saat membangun masjid. Proses pembangunannya didampingi oleh PDKK. “Masjid di RSUD Gumul juga inklusi, karena toilet dan bangunannya bisa diakses penyandang disabilitas daksa yang menggunakan kursi roda. Saat khutbah juga tersedia monitor yang menerjemahkan isi khutbah. Ini bisa dimanfaatkan oleh difabel rungu,” katanya.
Selain itu, PDKK juga melakukan pendekatan pada pengelola wisata. Di antaranya, diskusi tematik dengan pengelola wisata di wisata sekitar Gunung Kelud di wisata Kampung Korea pada 2022. “Kami menjelaskan tentang wisata inklusi,” tutur Umi. Mulai dari aksesibilitas bidang miring hingga toilet yang bisa diakses oleh kursi roda. Dari diskusi itu, banyak pengelola wisata mulai memahami. Namun, realisasinya tentu memerlukan waktu.
Umi juga menuntut kesetaraan pada pengguna jalan raya, yakni dengan SIM D bagi penyandang disabilitas. Berkat pendekatan intens upaya ini akhirnya bisa terealisasi. “Satlantas Polres Kediri menerbitkan SIM D untuk penyandang disabilitas, sementara wilayah lain di Jawa Timur masih sulit memperoleh SIM D ini,” ujar Umi.
Ketika penyandang disabilitas kesulitan akses di perguruan tinggi, PDKK berinisiatif menyuarakan. Salah satu perguruan tinggi yang disurati PDKK adalah Universitas Islam Kadiri (Uniska). Walhasil, jajaran civitas akademika Uniska memberikan perhatian khusus pada penyandang disabilitas. Jalur bidang miring dibangun menuju ke gedung rektorat.
”Hal yang membanggakan, ada penyandang disabilitas yang lulus menjadi sarjana di Uniska, namanya Riska Nur Fadilah,” katanya.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kediri Aryanto mengatakan, pihaknya menjalin komunikasi dengan sejumlah komunitas penyandang Disabilitas, seperti Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri (PDKK), Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Kabupaten Kediri serta Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Kediri.
“Kami berupaya mendorong potensi para penyandang Disabilitas agar berdaya, mandiri dan tidak bergantung belas kasihan orang lain,” kata Aryanto.
Dinas Sosial Kabupaten Kediri menggelar berbagai pelatihan. Seperti, workshop babershop dan kuliner. Lalu, penggunaan smartphone bagi penyandang tuna netra. Peserta pelatihan juga mendapatkan bantuan alat sebagai modal lanjutan pelatihan. Alat-alat pangkas rambut bagi pelatihan babershop juga macam-macam alat bagi yang dilatih kuliner. “Pelatihan ini kita dampingi hingga pemasarannya,” terangnya.
Meskipun berbagai pelatihan tersebut diadakan setiap tahunnya, diakuinya masih belum menjangkau keseluruhan disabilitas se-Kabupaten Kediri. “Belum menjangkau keseluruhan. Bertahap, yang kami jangkau punya embrio keterampilannya dulu,” tambah Aryanto.
Kendala-kendala yang dialami oleh penyandang disabilitas disampaikan PDKK pada Bupati Kediri Hanindhito Pramono. Salah satu yang jadi perhatian bupati adalah sektor pendidikan. “Bupati memberikan beasiswa kepada anak-anak penyandang yang disabilitas dari GNOTA. Beasiswa juga diberikan kepada anak-anak yang orang tuanya penyandang disabilitas, dari SMP sampai perguruan tinggi,” tambah Umi.
Sederet perjuangan PDKK membuahkan hasil. Ragam perhatian ditunjukkan oleh pemangku kebijakan. Seperti pengembangan wirausaha, beasiswa pendidikan dan pembangunan fasilitas publik yang berpihak pada penyandang disabilitas.
Namun, semua itu masih bersifat kebijakan pimpinan. Seharusnya, menurut Umi Salamah, ragam hak bagi disabilitas itu diformalkan dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengacu pada Undang-Undang. “Ketika ada ikatan dalam bentuk peraturan yang bersifat teknis, maka siapapun pemimpinnya, harus menjalankan aturan tersebut,” tegas Umi.
Sudah Ada Undang-Undang Perlindungan Disabilitas, Kenapa Harus Ada Perda?
UU nomor 8/2016 memuat 22 hak penyandang disabilitas. Di antaranya; hak hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, aksesibilitas serta bebas dari tindakan diskriminasi. Asas yang diemban dalam UU tersebut antara lain; kesetaraan, aksesibilitas dan perlindungan bagi penyandang disabilitas.
Menurut Sanusi, Ketua LSM Suar Indonesia, hak-hak disabilitas yang tertera UU belum optimal diterapkan karena belum ada kesadaran kolektif. “Hal yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa diterima secara emosional,” ujar Sanusi.
Memang, sebagian kalangan swasta menunjukkan perhatian pada disabilitas. Semisal, ada gedung yang memberikan akses bidang miring di samping tangga. “Namun, masih banyak yang simbolik saja. Tapi, masih belum ada kesadaran kolektif,” ujarnya.
Simbolik yang dimaksud Sanusi gedung yang terkesan ramah disabilitas itu ternyata tak bersifat komprehensif dalam memberikan hak aksesibilitas. Di areal depan memang ada bidang miring untuk akses kursi roda. Namun, tak demikian bagian dalam gedung. Tangga-tangga di bagian dalam gedung ternyata tak disertai bidang miring. Toiletnya yang ternyata tak bisa dimasuki kursi roda. “Itu banyak kami temui, mereka sekadar menimbulkan kesan seolah-olah ramah disabilitas, namun ternyata gedung itu belum sepenuhnya komprehensif untuk diakses,” katanya.
Implementasi UU no 8/2016 sulit diterapkan lantaran tak ada peraturan perundang-undangan di bawahnya untuk mengatur hal yang lebih teknis. Sebagian daerah berinisiatif membuat Peraturan Daerah. Di Jawa Timur, sudah ada 8 kota/kabupaten yang membuat peraturan daerah untuk mengatur hak-hak disabilitas dengan lebih konkret.
“Ini bagian pemenuhan hak. Dalam proses tidak sekadar membantu disabilitas, tapi perda ini juga membantu pemerintah daerah menjadikan Kabupaten Kediri Kabupaten yang inklusi. Kabupaten yang dalam proses pembangunan tidak membedakan, siapapun kelompok disabilitas dan kawan rentan lainnya,” ujar Sanusi.
Kolaborasi Aktivis dan Legislatif Mewujudkan Perda
Senada dengan Sanusi, PDKK yang dipimpin Umi mendorong DPRD dan pemerintah untuk menetapkan Perda Perlindungan Penyandang Disabilitas sejak tahun 2019. Pintu masuk PDKK adalah Fraksi Nasional Demokrat DPRD Kabupaten Kediri. “Dari hasil beberapa diskusi dengan PDKK, Nasdem akhirnya menginisiasi Perda Disabilitas pada tahun 2020,” kata Umi.
Lutfi Mahmudiono, Ketua Fraksi Nasdem DPRD Kabupaten Kediri, membeberkan latar belakang fraksinya sebagai pemrakarsa Raperda Disabilitas. Perda Disabilitas dipandang urgen untuk mengatur lebih teknis perlindungan disabilitas dengan mengacu pada Undang-undang nomor 8/2016.
“Di dalam Perda ada konsideran yuridis, konsideran filosofis dan sosiologis. Perda akan memunculkan kearifan lokal hal-hal yang pokok dalam Undang-undang disabilitas, faktor faktor sosiologis di Kabupaten Kediri yang perlu diatur. Sehingga para disabilitas ini bisa hidup nyaman layak sebagaimana masyarakat pada umumnya,” beber Lutfi.
Begitulah. Pembahasan Raperda di gedung legislatif bergulir. DPRD Kabupaten Kediri menggelar audiensi dengan sejumlah organisasi lembaga penyandang disabilitas di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Kediri pada hari Rabu (21/10/2020).
Tak hanya PDKK, DPRD juga mengundang Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Kabupaten Kediri dan Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Kediri serta LSM Suar Indonesia.
Ketua DPRD Dodi Purwanto mendukung aspirasi dari perwakilan disabilitas dalam rangka mendorong segera tersedianya Raperda tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Kediri.
“Kami menyadari sepenuhnya bahwa segala bentuk aspirasi, saran dan masukan dari Bapak Ibu semua akan sangat berarti dalam mendorong proses penyiapan Raperda tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Kediri guna mewujudkan Kabupaten Kediri Ramah Disabilitas” tegas Dodi.
Dari usulan Fraksi Nasdem, draf Raperda Perlindungan Disabilitas bergulir di DPRD. Untuk mematangkan isi Raperda diperlukan naskah akademik untuk Raperda Perlindungan Disabilitas.
Naskah akademik digodok oleh Universitas Airlangga Surabaya. Sejumlah elemen dilibatkan dalam Focus Group Discussion (FGD). Dalam FGD, perwakilan disabilitas menyampaikan masalah apa yang mereka hadapi. “Peraturan daerah akan efektif, kalau memang dalam pasal pasalnya spesifik sasarannya siapa,” kata Dr Erna Setyowati yang terlibat dalam pembuatan naskah akademik Raperda Disabilitas ini.
Menurut Erna, berbagai masalah itu dituangkan dalam pasal demi pasal raperda. Setelah itu, pasal-pasal itu dikomunikasikan dengan instansi terkait, seperti dinas sosial dan DPRD.
Item-item Penting Perda Perlindungan Disabilitas
Apa saja isi dari Perda Perlindungan Disabilitas? Secara garis besar, menurut Lutfi Mahmudiono, Perda lebih mengikat pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas. Salah satunya, pemerintah daerah harus menganggarkan peningkatan kapasitas peningkatan ekonomi dan pemberdayaan untuk para disabilitas serta memberikan kesempatan kerja bagi para disabilitas.
“Seharusnya juga diatur dalam Perda supaya orang tua hebat penyandang disabilitas ini bisa melindungi dan mengayomi putra-putrinya, sehingga bisa hidup secara mandiri. Itu salah satu contoh item perda,” katanya.
Dalam Perda, lanjut Lutfi, juga diatur agar disabilitas bisa memperoleh hak pendidikannya di sekolah umum. Realisasinya, perlu ada aturan, bagaimana sekolah umum menyiapkan sarana dan prasarana untuk para disabilitas. “Dan sekolah umum dilarang menolak siswa yang disabilitas,” papar Lutfi.
Harapannya, dengan penerapan Perda ini, menurut Lutfi, penyandang disabilitas akan mendapatkan hidup yang layak. Hak-haknya diakomodir, serta peningkatan kapasitas dirinya difasilitasi sehingga penyandang disabilitas bisa menyangga ekonomi secara mandiri.
Selangkah Menuju Kabupaten Kediri yang Inklusi…
Oktober 2020, empat tahun silam. Menik, penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda hendak mengikuti audiensi yang membahas Raperda Disabilitas. Letaknya di ruang paripurna DPRD Kediri di lantai 2. Kursi rodanya harus diangkut oleh empat petugas Satpol PP untuk naik lantai.
Kini, DPRD membuat akses bagi penyandang disabilitas. Di timur gedung, DPRD membangun bidang miring sebagai akses kursi roda menuju lantai 2. “Ya, setelah beberapa kali audiensi dengan teman-teman disabilitas itu kami melihat kendala mereka dan kami evaluasi. Akhirnya, kami membangun bidang miring itu,” ujar Dodik Purwanto, Ketua DPRD Kabupaten Kediri
Empati kalangan legislatif terhadap penyandang disabilitas itu sejalan dengan bergulirnya Perda Perlindungan Disabilitas di legislatif. Setelah penyempurnaan naskah akademik pada tahun 2021, Fraksi Nasdem mengajukan Raperda Perlindungan Disabilitas ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD pada 2022.
Pembahasan Perda berlanjut hingga 2024. Setelah dibawa ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur, draf Raperda Perlindungan Disabilitas ini mengalami penyempurnaan. Evaluasi Pemerintah Provinsi, ada penambahan pasal. “Ada pasal-pasal yang ditambahkan, menyesuaikan dengan UU Disabilitas, dari awalnya sebanyak 49 pasal menjadi 141 pasal,” kata Aryanto, plt Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kediri.
Selanjutnya, Raperda Disabilitas melewati tahap finalisasi di Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) yang dilakukan Ketua dan anggota Bapemperda, Kepala Dinas Sosial, dan Bagian Hukum Pemkab Kediri. “Raperda yang berisikan hak-hak disabilitas itu akan segera dibawa ke paripurna dan disetujui bersama Pemerintah daerah dan DPRD,” kata Lutfi saat dikonfirmasi pada Kamis (28/3/2024).
Selangkah lagi, Perda Perlindungan Disabilitas didok oleh legislatif. Namun, apakah perjuangannya selesai? Tahapan berikutnya baru dimulai. “Implementasi Perda harus dikawal,” tegas Umi Salamah.
Sebab, menurut Umi, perlu ada komitmen kepala daerah supaya bisa terealisasi. Secara konkret, aturan teknis dari Perda akan diatur dalam Peraturan Bupati. Selanjutnya perlu disosialisasikan ke masyarakat umum.
“Konsekuensinya juga pada penganggaran, seharusnya diawali dari pemerintah untuk membangun gedung pemerintah yang ramah disabilitas lalu fasilitas publik yang bisa diakses penyandang disabilitas. Ini perlu komitmen dari kepala daerah dan DPRD,” kata Umi Salamah.
Perda akan mengikat semua pihak di daerah untuk menjalankan. Semisal berkaitan dengan fasilitas publik yang ramah disabilitas. Tak hanya pemerintah, swasta juga harus tertib sesuai dengan perda. Bahkan, jika tak menjalankan, mereka dapat menerima sanksi. “Kemarin sudah kita bahas ada sanksi. Semisal ada pihak swasta yang tidak melengkapi, sesuai dengan perda, itu akan diberi sanksi,” kata Lutfi.
Maka, cita-cita mewujudkan cita-cita untuk hak-hak penyandang disabilitas menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Bolehlah berharap suatu kali, penyandang disabilitas di Kabupaten Kediri mudah mengakses bangunan dan tempat-tempat wisata.
Boleh berharap, ada penyandang disabilitas yang secara merata bekerja di sebuah perusahaan dan instansi pemerintahan. Dan seabreg asa lain yang memperjuangkan hak-hak disabilitas. Meski sejatinya kelak Perda itu menjadi aturan yang implementasinya harus dikawal dan diperjuangkan sekuat tenaga.