Metaranews.co, Kota Samarinda – Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Ananda Emira Moeis, menanggapi polemik relokasi SMAN 10 Samarinda dan penonaktifan kepala sekolah.
Ia menegaskan, persoalan manajerial tersebut tidak boleh mengganggu hak fundamental siswa untuk mendapatkan pendidikan.
Penonaktifan Kepala SMAN 10 Samarinda, Fathur Rachim, oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim sejak Senin (23/6/2025) lalu menjadi sorotan.
Langkah ini merupakan bagian dari evaluasi internal, menyusul ketidakterlibatan Fathur dalam proses relokasi sekolah.
Relokasi SMAN 10 sendiri merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Agung yang mengharuskan sekolah kembali ke lahan Yayasan Melati, dan akan pindah ke Kampus A di Jalan HAM Rifaddin, Samarinda Seberang.
“Saya belum tahu detailnya seperti apa, tapi yang pasti, untuk pendidikan semua anak‑anak mempunyai hak untuk mendapatkan pengajaran,” ujar Ananda saat ditemui di Gedung DPRD Kaltim, Senin (30/6/2025).
Ananda menegaskan, Disdikbud Kaltim wajib menjamin kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan lancer, tanpa aanya dampak negatif bagi siswa maupun pengajar.
Menurutnya, langkah yang diambil harus bisa menjamin agar pengajaran tidak terhambat karena ini menyangkut masa depan anak bangsa.
“Langkah‑langkah yang diambil harus bisa menjamin agar pengajaran tidak terhambat. Ini menyangkut masa depan anak bangsa, jadi harus diselesaikan dengan baik,” tegasnya.
Selanjutnya, Ananda juga menyatakan bahwa Komisi IV DPRD Kaltim belum membahas secara resmi penonaktifan tersebut.
Hingga kini, belum ada pembahasan formal di internal dewan, sehingga penilaian secara politik atau administratif baru bisa dilakukan setelah Komisi IV bersidang.
“Karena belum ada pembahasan sama sekali di dewan. Saya juga baru tahu, mungkin lebih jelasnya bisa ke Komisi IV,” tambahnya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi melalui Disdikbud Kaltim berkomitmen memastikan pemindahan sekolah berjalan sesuai jadwal, yakni pada awal tahun ajaran baru, 14 Juli 2025.
Disdikbud juga menjamin proses pembelajaran aman dan tidak terganggu, termasuk dengan menyediakan fasilitas di sekolah baru dan dukungan guru cadangan jika diperlukan.
Ananda berharap semua pihak, baik orang tua, siswa, maupun pengajar, dapat menyelesaikan konflik secara damai dan profesional.
“Yang penting anak-anak tetap belajar, guru tetap mengajar, dan semua berjalan seperti biasa,” pungkasnya. (ADV)