Ketika Patung-Patung Purba Menjadi Rebutan
Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Jumat (16/2/2007), suasana di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tidak lagi sekadar diliputi rasa bangga atas penemuan warisan sejarah.
Kali ini, muncul ketegangan. Warga menolak patung-patung kuno yang mereka temukan dibawa keluar dari desa.
Setelah beberapa minggu terakhir berturut-turut ditemukan patung Dewa Brahma, Dewi Durga, Lembu Andini, Lingga Yoni, dan dua patung lainnya yang belum teridentifikasi, pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan berniat membawa temuan-temuan itu ke Jakarta.
Tujuannya untuk dilakukan penelitian lanjutan dan perbaikan struktur, mengingat beberapa patung sempat rusak akibat proses penggalian.
Warga Desa Gayam menolak mentah-mentah. Mereka waswas. Di benak mereka muncul satu kekhawatiran besar, bagaimana jika patung-patung itu tidak pernah kembali? Atau lebih buruk, diganti dengan replika palsu?
“Saat ini teknologi bisa membuat yang palsu terlihat asli. Siapa yang bisa menjamin patung-patung itu tidak akan ditukar?” ujar Tarmudji, salah satu warga yang menyaksikan langsung proses penemuan.
Tarmudji pun mengungkit pengalaman masa lalu.
“Tahun 1957, warga sini juga pernah menemukan patung, tapi sampai sekarang tidak dikembalikan setelah dipinjam oleh pihak berwenang,” tuturnya.
Bagi warga, benda-benda purbakala itu bukan hanya peninggalan sejarah – mereka adalah bagian dari jati diri desa.
Penemuan itu membangkitkan harapan, bahwa Dusun Tondowongso bisa berkembang menjadi desa wisata sejarah, dengan situs purbakala sebagai daya tarik utama.
Kekhawatiran itu akhirnya mencair setelah dilakukan dialog panjang antara warga, pemerintah desa, dan tim BP3 Trowulan.
Dalam pertemuan yang berlangsung hangat namun tegas, disepakati bahwa patung-patung tersebut akan dipinjam hanya dalam waktu dua minggu untuk keperluan penelitian, lalu dikembalikan ke tempat semula.
Namun warga juga memberikan syarat, tidak semua patung boleh dibawa sekaligus. Hanya patung Dewa Brahma yang dibawa lebih dahulu, sementara patung-patung lainnya akan dipinjam secara bergiliran dua minggu sekali.
Prapto Saptono, Kasi Pelestarian dan Pemanfaatan dari BP3 Trowulan, kala itu, berusaha menenangkan warga.
“Kami memahami kekhawatiran itu. Tapi kami juga punya kewajiban untuk meneliti lebih dalam benda-benda ini agar dapat dilestarikan secara ilmiah. Kami jamin, semua patung tetap utuh, tetap asli, dan akan dikembalikan,” ujarnya.
Hingga hari ini, dusun yang awalnya hanya dikenal sebagai area ladang dan lahan urug, berubah menjadi tempat penuh cerita.
Penemuan demi penemuan seperti menggugah tanah untuk kembali bicara.
Akan tetapi di balik temuan arkeologis itu, ada dinamika sosial yang tak kalah penting, bagaimana warga lokal berjuang menjaga warisan yang secara tidak sengaja mereka temukan – dengan rasa cinta dan kehati-hatian.