Jejak yang Terkubur: Misteri Peradaban Tondowongso (5)

Situs Tondowongso
Caption: Ratusan warga berduyun-duyun datang melihat struktur hasil ekskavasi Situs Tondowongso pada tahun 2007 silam. Doc: Imam Mubarok

Ketika Candi Bangkit, Wisatawan Datang Berbondong

Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Tak perlu waktu lama bagi nama Tondowongso untuk bergema.

Bacaan Lainnya

Sejak para buruh penggali lahan urug menemukan arca di awal tahun, dusun yang dulu tenang dan nyaris tak dikenal itu kini berubah menjadi magnet wisata sejarah baru di Kabupaten Kediri.

Dan momen libur Hari Raya Nyepi, Minggu–Senin, 18–19 Maret 2007, menjadi titik puncaknya.

Ratusan pengunjung memadati lokasi penemuan situs purbakala di Desa Gayam, Kecamatan Gurah.

Dari pagi hingga siang, warga terus berdatangan. Di pintu masuk, panitia lokal memasang spanduk dan menjual tiket seharga Rp2.000 per orang.

Mereka yang datang bebas menjelajah dan menyaksikan langsung keajaiban yang baru saja bangkit dari dalam tanah.

“Lumayan rame, Mas. Sampai jam 12 siang, uang yang terkumpul sudah lebih dari tiga juta rupiah,” kata Suradi kala itu, salah satu panitia dari warga setempat.

Daya tarik pengunjung bukan hanya arca atau benda cagar budaya lain, tapi juga karena mulai terungkapnya sudut-sudut bangunan candi yang selama ini tertutup tanah.

Tim purbakala bahkan mulai bisa memperkirakan luas struktur yang terpendam. Penemuan itu menambah rasa penasaran warga. Mereka ingin menyaksikan langsung seperti apa wujud candi yang mungkin selama ratusan tahun hanya hidup dalam legenda.

Di tengah keramaian, muncul pemandangan menarik. Setiap arca yang ditemukan dijaga langsung oleh penemunya.

Ada sekitar 12 arca yang tersebar di area penemuan, dan masing-masing memiliki “penunggu” yang seolah menjadi penjaga tidak resmi.

Beberapa di antaranya bahkan menggelar semacam lapak kecil, berharap pada sumbangan sukarela dari pengunjung.

Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah sumber air yang diyakini sebagai tempat pemandian kuno, terletak di sudut barat situs.

Di dekatnya berdiri gapura dan tangga dari batu bata yang mengarah ke sumber tersebut. Meski pihak Dinas Lingkungan Hidup sudah menyatakan air itu mengandung bakteri, beberapa pengunjung tetap meminum air tersebut dengan keyakinan spiritual.

“Ini jelas air berkah, peninggalan masa lalu. Nggak mungkin berbahaya,” ujar Jiyo, warga Plemahan, usai memberi uang Rp1.000 kepada penjaga sumber air dan meminum air yang telah dikemasi dalam plastik.

Kemeriahan ini juga menggeliatkan ekonomi warga. Di sepanjang jalan masuk ke situs, berjejer pedagang dadakan, menjual makanan ringan, minuman, hingga suvenir sederhana.

Warung tenda muncul, lalu lalang pengunjung membawa semangat baru bagi desa yang sebelumnya sepi.

Dibalik keramaian itu, proses penggalian masih terus berlangsung. Sejak temuan awal 13 Januari 2007 – patung Dewa Brahma – berbagai penemuan lain menyusul.

Di antaranya Dewi Durga (18 Januari), Arca Nandi atau Lembu Andini (19 Januari), Lingga Yoni (26 Januari), dua patung tak dikenal (12–13 Februari), sumber air dan gapura pada awal Maret, lalu disusul lagi enam arca pada 3 Maret 2007, termasuk satu arca mirip raja dengan mahkota, meski kepalanya sudah terpotong.

Kini, semua mata tertuju ke Tondowongso. Bukan hanya arkeolog dan sejarawan, tapi juga warga biasa yang datang dengan penasaran, pedagang yang mencari rezeki, dan para pencinta sejarah yang menunggu, apa lagi yang akan muncul dari balik tanah Kediri?

Pos terkait