Bahtsul Masail Kubro di Al Falah Ploso Tegaskan Sikap Hukum atas RUU Perampasan Aset hingga Kekerasan Psikis

Bahtsul Masail
Caption: Bahtsul Masail Kubro ke-25 di Ponpes Al Falah Ploso, Kediri. Doc: Ponpes Al Falah Ploso

Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Bahtsul Masail Kubro ke-25 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri, pada 19–20 November 2025 menghasilkan sejumlah keputusan hukum penting melalui sidang Komisi A.

Dokumen resmi “Hasil Keputusan BM Komisi A” mencatat tiga isu besar yang dibahas secara mendalam, yakni RUU Perampasan Aset, Pemotongan Gaji Sepihak, dan Kekerasan Psikis.

Bacaan Lainnya

Keputusan final disahkan oleh jajaran mushohih, perumus, dan moderator sidang.

Kegiatan ini diikuti lebih dari 242 delegasi dari 84 pesantren se-Jawa dan Madura, yang terlibat dalam rangkaian sidang intensif selama dua hari.

Isu pertama yang dibahas Komisi A adalah RUU Perampasan Aset, yang mengatur penyitaan aset milik pejabat negara atau pihak lain yang diduga terlibat tindak pidana korupsi tanpa menunggu proses pidana selesai.

Sidang mempelajari seluruh mekanisme yang tercantum dalam deskripsi, termasuk asset tracing, penyitaan tanpa putusan pengadilan, pembuktian terbalik, dan eksekusi aset oleh negara.

Komisi A memutuskan bahwa perampasan aset pejabat terduga korupsi dibenarkan dalam hukum Islam.

Musyawarah merujuk pada sejumlah literatur fikih, antara lain al-Bahr ar-Ra’iq, al-Qawa‘id az-Zarqā, dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah, yang membolehkan penyitaan harta pejabat negara bila terdapat indikasi kuat bahwa harta tersebut diperoleh melalui jabatan atau praktik tidak sah.

Dalam rujukan Imam Az-Zarkasyi disebutkan bahwa indikasi lahiriah dapat dijadikan dasar penetapan hukum, terutama dalam kasus korupsi yang sulit dibuktikan secara langsung.

Kemudian Komisi A juga memutuskan negara wajib memperkuat regulasi dan sistem pengawasan.

Agar perampasan aset tidak disalahgunakan, negara perlu menyempurnakan regulasi agar tidak tumpang-tindih, membentuk lembaga pengawas independen, melakukan pelacakan aset dengan transparansi penuh.

Kemudian Komisi A menegaskan bahwa penundaan pengesahan RUU Perampasan Aset dinyatakan tidak diperbolehkan.

Keputusan tersebut didasarkan pada dua alasan utama, yakni penundaan memberi ruang bagi koruptor untuk mengamankan asetnya, dan kedua penundaan menunjukkan lemahnya keseriusan pemberantasan korupsi.

Komisi A menilai bahwa alasan “potensi ketidakadilan bagi keluarga” tidak berdasar secara fikih, sebab harta yang diperoleh melalui jalan haram wajib dikembalikan kepada negara atau publik.

Pemotongan Gaji Sepihak

Persoalan kedua yang dibahas adalah praktik pemotongan gaji (polasi) yang dilakukan sepihak oleh sejumlah pemberi kerja, khususnya pada pekerja industri rumahan seperti pencetak genteng.

Dalam deskripsi, pemotongan gaji dilakukan tanpa persetujuan dan sering kali tidak transparan.

Komisi A memutuskan bahwa pemotongan gaji sepihak hukumnya haram.

Penetapan ini didasarkan pada prinsip bahwa pekerja adalah amīn (orang yang diberi amanah), sehingga ia tidak menanggung kerusakan kecuali terbukti melakukan kesalahan.

Hal tersebut sebagaimana dirujuk dalam Nihāyatu az-Zain, Hasyiyah al-Bujairimī, Kifāyatu al-Akhyār, dan I‘ānat ath-Thālibīn.

Selanjutnya Komisi A memutuskan bahwa pemotongan gaji tanpa persetujuan ilegal secara hukum positif.

Komisi mengutip UU No 11 Tahun 2020 yang melarang pemotongan gaji tanpa persetujuan pekerja.

Berikutnya gaji pekerja tidak boleh dikurangi kecuali ada kesepakatan jelas di awal, kerusakan disebabkan kelalaian pekerja (dibuktikan), nominal pemotongan proporsional dan tidak merugikan hak dasar pekerja.

Dalam deskripsi kasus, seluruh syarat ini tidak terpenuhi, sehingga pemotongan gaji dinyatakan tidak sah.

Kekerasan Psikis

Komisi A juga membahas persoalan kekerasan psikis, khususnya dalam konteks pesantren, seperti penghinaan, intimidasi verbal, gojlokan berlebihan, hingga tindakan yang menimbulkan ketakutan atau tekanan mental.

Hasil sidang menetapkan pelaku wajib bertanggung jawab atas kerusakan mental yang ditimbulkan, antara lain dengan meminta maaf secara langsung dan mengembalikan barang yang dirampas bila terdapat unsur perampasan.

Hukuman bagi pelaku kekerasan psikis yakni jika mengandung unsur qadzaf (tuduhan zina) → wajib dijatuhi had.

Lalu jika berupa penghinaan, manipulasi, atau intimidasi → dikenai ta‘zir sesuai kebijakan hakim atau pengelola lembaga.

Komisi A mengutip sejumlah rujukan fikih seperti Hasyiyah al-Jamal, Sirāj ath-Thālibīn, al-Hāwī al-Kabīr, dan Bughyah al-Mustarsyidīn, yang menyatakan bahwa tindakan menakut-nakuti, merendahkan, atau menyakiti orang lain—bahkan dalam konteks bercanda—adalah perbuatan yang dilarang keras.

Hadis: “Barang siapa menakut-nakuti seorang mukmin, maka Allah tidak akan memberi keamanan kepadanya pada hari kiamat,” juga dijadikan landasan syar‘i.

Sebagai tuan rumah, Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, KH Iffatul Lathoif, menegaskan bahwa keputusan-keputusan Komisi A menandai pentingnya pesantren dalam merespons fenomena sosial yang berkembang.

“Bahtsul Masail adalah ruang pesantren menjaga nalar publik. Pesantren tidak boleh diam ketika masyarakat berhadapan dengan masalah hukum, moral, dan sosial,” ujarnya.

KH Iffatul Lathoif menyampaikan bahwa RUU Perampasan Aset, persoalan gaji pekerja kecil, hingga kekerasan psikis merupakan contoh isu yang membutuhkan ketegasan hukum Islam agar masyarakat mendapatkan kepastian moral dan yuridis.

Seluruh keputusan Komisi A kemudian disahkan dan akan dibukukan sebagai rujukan bagi pesantren peserta serta masyarakat yang membutuhkan panduan fikih atas isu-isu kontemporer.

Hasil tersebut menjadi bagian integral dari rangkaian Bahtsul Masail Kubro ke-25 yang berperan penting dalam melestarikan tradisi intelektual pesantren.

Pos terkait