oleh : M. Dwi Cahyono
(Arkeolog dan Sejarawan Universitas Negeri Malang)
Pernahkah anda melihat neraka?
Pernahkah anda pergi ke neraka?
Jika ingin tahu, bila hendak ke sana,
cukuplah bertandang ke Candi Jajaghu,
yang memiliki relief cerita “Kunjarakarna”,
terpahat di dinding teras I dan pelipit teras II,
padamana tergambar detail “siksa neraka”.
Konsepsi “Surga-Neraka” pada Agama-agama
Di antara banyak agama yang ada di dunia, terdapat adanya gambaran tentang kehidupan setelah mati. Dalam konsepsi itu, ada orang yang setelah mati bakal masuk surga, atau sebaliknya justru di- masukkan ke neraka. Terlepas apapun sebutannya, konsepsi tentang “surga-neraka” itu terdapat pada sejumlah agama, termasuk agama-agama besar dunia, seperti pada agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Buddha, ataupun Islam. Sebutannya dalam agama Hindu adalah “swarga dan naraka”. Keduanya berkenaan dengan : (a) ganjaran (reward), yang puncaknya adalah “masuk surga”, dan (b) hukuman (punish), puncaknya adalah dimasukkan ke neraka. Pilih yang mana?
Pada tulisan ini, yang ditelaah adalah mengenai “neraka”, tepatnya adalah “siksa neraka”. Gambar- an tentang neraka merupakan “iming-iming” agar orang berbuat baik, menabung pahala manakala hidup di dunia. Surga adalah “alam impian”, yang menggiurkan, dan karenanya orang berharap bisa diperoleh setelah kematiannya kelak. Surga bisa didapatkan bila orang berbuat sesuai dengan apa yang diajarkan agamanya. Penggambaran yang mengerikan mengenai neraka dimaksudkan untuk “menakut-nakuti” orang supaya tidak berbuat dosa, agar tidak berlaku menyimpang dari ajaran agamanya. Ada ajaran agama atau pendakwah yang lebih menonjolkan gambaran mengenai surga. Namun, ada yang malah menekankan gambaran mengenai neraka.
Gambaran Siksa Neraka pada Relief Cerita “Kunjarakarna”
Pada relief cerita “Kunjarakarna” yang dipahatkan pada Candi Jajaghu (lebih populer dengan sebutan “Jago”), yang digambarkan secara rinci justru mengenai neraka, atau lebih tegasnya adalah siksa neraka. Digambarkan bahwa beruntunglah yaksa bernama “Kunjarakarna” berkat pertobatannya dan permemohonan ampunannya pada Wairocana atas segala dosa-dosanya, Kunjarakarna diberiNya kesempatan untuk mengobservasi neraka. Ia berkesempatan untuk dapat menyaksikannya dengan mata krepala sendiri tentang bagaimana para pendosa disiksa di neraka sesuai jenis dan bentuk perbuatan dosanya ketika hidup di dunia.
Apa yang disajikan itu bukan hanya menyadarkan Kunjarakarna mengenai perlunya berperilaku baik (subhakarma). Serupa itu, pemirsa relief cerita di Candi Jago, yang menggambarkan tentang betapa beratnya siksa neraka tersebut, diharapkan menjadi sadar untuk berkehidupan secara baik dan benar.
Saya pun ketika hari ini bertandang ke Candi Jago, dengan seksama mencerimati relief cerita tentang siksa neraka tersebut, dengan harapan dapat berperilaku bijak, terhindar dari dosa serta siksa neraka kelak setelah mati. Pemahat cerita ini, nampaknya sengaja menggambarkan kondisi neraka sebagai amat mengerikan. Siksa neraka digambarkan sebagai sangat berat, agar pada diri pemirsa tumbuh rasa takut berperilaku tidak baik (Asubha-karna), agar kelak bisa terhindar dari siksa neraka setelah dirinya mati.
Pada kunjungan ke Candi Jago inu, saya cermati sejumlah panil relief yang menggambarkan kawah (jedi, wajan besar) yang berbentuk lembu (goh) dalam posisi ndekem dengan punggung lengkungnya digambarkan menyerupai “bulan sabit”, yang pada relief ini menjadi jedi tempat merebus para pendo- sa. Berdasarkan bentuknya, kawah perebus orang- orang yang berdosa itu diberi sebutan “Candragoh- mukhha (candra = bulan sabit, goh mukha = bermu-ka lembu, yang dalam pewayangan Jawa dinamai ‘Condrodimuko’)”, tempat padamana para pendosa direbus dari arah bawah, sementara dari arah atas bisa-bisa kejatuhan daun atau bunga dari sebuah pohon yang berwujud aneka senjata (tarusanjata) seperti pedang, tombok mata satu ataupun mata tiga (trisula), cakra, dsb.. Penyiksaan yang demikian sebagaimana tergambar dalam pepatah Jawa, yaitu” kepalu-ketutu”.
Para pendosa pun mustilah melewati jembatan khusus untuk mengukur tingkat dosa dari seseorang. Sebutannya adalah “wot ogal-agil (disebut juga dengan “titi gonggang”). Jembatan (wot, titi) ini menghubungkan antar area yang dipisahkan oleh jurang terjal dan dalam, yang dari dalamnya menyembul kobaran api maha besar. Hal ini mengingatkan pada “wot sirotolnustakim”, yang tajamnya bagaikan rambut dibelah tujuh. Biila terpeleset darinya dan jatuh, maka bakalan dilalap oleh api neraka itu. Nah, ngeri sungguh, bukan “ngeri-ngeri sedap”. Apabila pada Wot Sirotolmustakim tingkat kesulitan untuk menitinya adalah ketajamannya (1/7 tebal rambut), pada Wot Ogal-agil tingkat kesulitannya adalah ke- tidakstabilannya (ogal-agil), sedangkan pada Titi Gonggang kesulitannya adalah dasar pijakannya tidak rapat – ada celah-celah tak teratur yang bisa menyebabkan orang terperosok. Pendek kata, apa- pun sebutannya dan wujudnya, tidaklah mudah atau sangatlah pelik untuk melintasi jembatan (wot, titi) tersebut
Sesuai dengan konsepsi “karmapala (buah dari perbuatan)”, siksaan di neraka sesuai dengan perilaku dosanya di dunia. Apabila tingkah lakunya di dunia seperti binatang, maka wujud anatominya di neraka menjadi manusia berkepala binatang (digambarkan berkepala kambing, kerbau, kuda, dan lembu). Para penyerobot tanah milik orang/pihak lain akan disik- sa dengan menyunggi lempengan tanah. Perusak rumah orang lain disiksa dengan menyunggi rumah. Orang yang otaknya kotor, bakal ditancapi paku be- sar tepat di ubun-ubunnya. Ada pula yang disiksa dengan kepala dipatuk burung besar, dinjak-injak makhluk berbentuk demon lembu bermuka singa, dsb. Pendek kata, siksa neraka itu digambarkan jauh lebih mengerikan ketimbang siksaan pada penjara Sabaneta (Venezuela), Pulau Rikers (Amerika Serikat), Bang Kwang (Thailand), Pulau Petak (Rusia) ataupun di penjara USP Florence ADMAX (Amwrika Serikat) sekalipun.
Teladan Bijak dalam Relief Siksa Neraka
Apabila anda berkesempatan mengunjungi Candi Jago di Tumpang Kabupaten Malang, jangan lupa untuk mencermati relief cerita “Kunjarakarna” pada teras I dan bersambung ke pelipit bawah dari teras II. Candi Jajaghu, sejauh telah diketemukan, adalah satu diantara dua candi selain relief cerita “Maha- karmawibhangga” di teras I Candi Borobudur. Bila relief siksa neraka di Candi Jago dan Borobudur diperbandingan, gambaran pada relief Kunjarakarna di Candi Jago jauh lebih mengerikan daripada yang tergambar pada relief Mahakarmmawibhangga di Candi Borobudur. Gambaran yang demikan juga didapati pada lukisan “gaya Kamasan”, yang ditem- patkan para langit-langit eks balai pengadilan adat du komplek keraton (puri) Semarapura, Klungkung Bali.
Relief cerita “Kunjarakarna” di Candi Jago adalah “transformasi visual dari susastra tekstual, yang berjudul “Kunjarakarnadharmmakatana”. Semoga para pengunjung Candi Jago yang dengan seksa- ma memeriksa relief cerita “Kunjarakarna” bakal memperoleh keteladanan hidup dari relief cerita ini. Dalam hal demikian, relief cerita “Kunjarakarna” di Candi Jago dapat dijadikan sebagai media ajar bagi para pengunjung untuk melakukan kebaikan hidup, sebagaimana kebaikan hdup yang telah diteladan- kan oleh Yaksa Kunjarakarna. Bertobat dan memohon ampun kepada Illahi adalah “tindakkan kunci” untuk dapat terhindar dari siksa neraka yang berkepanjangan.