Metaranews.co, Kediri – Sosok Munawar Musso atau Paul Mussote atau yang kerap dipanggil Musso adalah salah satu politikus yang terkenal sebagai petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920 dan 1948. Musso merupakan orang yang cukup cerdik di PKI, karena politikus ini dianggap dekat dengan tokoh revolusioner Uni Soviet yakni Joseph Stalin.
Di balik sosoknya yang fenomenal, pria kelahiran Kediri itu memiliki “rapor merah”, karena dia merupakan salah satu dalang Pemberontakan PKI Madiun pada 1948 yang disebut-sebut menewaskan hingga 1.920 orang.
Latar belakang Musso hingga kini masih simpang siur. Beberapa sumber menyebutnya sebagai anak dari seorang kiai besar di Kediri, sementara yang lain menyebutnya putra dari pegawai kantoran biasa.
Lalu, seperti apa sosok yang dikenal revolusioner dengan jalan pedang yang ingin mendirikan Republik Indonesia Soviet dan pernah berbenturan dengan sosok kiri lain seperti Tan Malaka ini?
Pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, H Mochamad Chamdani B Biq mengatakan, Munawar Musso merupakan anak angkat dari KH Hasan Muhyi yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Sedangkan, Ibu dari Musso dahulu dikenal dengan nama Nyai Juru.
“KH Hasan Muhyi ini ceritanya waktu datang di Pagu ini menikah dengan seorang janda yakni Nyai Juru, orang disini memanggilnya Nyai Coro. Saat menikah Nyai Juru ini sudah punya 12 anak, salah satunya Mbah Musso itu,” jelas Gus Biq kepada Metaranews, Senin (26/9/2022).
Semasa muda, Musso adalah remaja yang sangat cerdas, berbagai macam Ilmu Agama Islam ia terima langsung dari KH Hasan Muhyi. Selain itu, Musso remaja juga gemar membaca berbagai kitab klasik pesantren.
Tak hanya membaca, Musso muda juga hafal banyak kitab kuning, bahkan menurutnya saking encernya otak Muso, hanya dalam beberapa kali membaca kitab kuning dia langsung bisa menghafalnya dengan mudah.
“Jadi Mbah Musso ini memang sangat cerdas, ditambah yang mengajarinya langsung KH Hasan Muhyi, dengan metode sorogan ala pesantren itu, langsung hafal dia dalam beberapa kali baca,” tuturnya.
Selain itu semasa muda, Musso kerap mengaji dan mondok di berbagai pesantren yang ada di sekitar Kediri dan Nganjuk.
“Usai mengaji dan mondok itu karena dia haus ilmu akhirnya sekolah dan indekos di Surabaya di Rumah Cokroaminoto, yang katanya sama Pak Soekarno itu,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan, sebelum peristiwa 1948 di Madiun, menurut beberapa cerita, Musso masih mempunyai rumah di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, namun rumah itu jarang ditempati.
“Menurut cerita orang-orang tua, dahulu rumahnya ada di Jagung, Rumahnya besar dan berbentuk Dorokepak. Namun rumah itu juga jarang untuk pulang,” tutupnya.