Metaranews.co, Malang – Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 masih menyisakan pertanyaan panjang siapa dalang yang harus bertanggungjawab atas meninggalnya 135 orang di Stadion Kanjuruhan Malang.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya dugaan obstruction of justice atau menghalangi proses penegakan hukum yang dilakukan pihak kepolisian dalam pengusutan tragedi Kanjuruhan.
Mereka menilai ada beberapa alasan dugaan obstruction of justice itu menguat. Pertama, adanya temuan TGIPF penghilangan CCTV. Kedua, indikasi dokter yang tidak berani memberikan keterangan utuh terkait hasil visum para korban tragedi Kanjuruhan.
“Kami tidak tahu apakah ada intimidasi atau tidak. Teman-teman dokter yang kami hubungi mengaku tidak berani berkomentar tentang itu,” ungkap Andi Irfan, Sekjen Federasi KontraS.
Selanjutnya, dugaan terjadi intimidasi dari pihak kepolisian kepada keluarga korban yang hendak mengajukan permintaan autopsi jenazah tragedi Kanjuruhan. Hingga keluarga korban atas nama Devi membatalkan niat autopsi itu.
“Polisi secara sistematik dan persuasif mengintimidasi Devi dan keluarga sampai Devi membatalkan rencana autopsi atas jenazah kedua anaknya yang telah meninggal,” bebernya.
Keempat, yakni soal opini yang dikembangkan oleh Humas Polri tentang kematian korban tragedi Kanjuruhan bukan karena gas air mata. Opini itu juga terus menerus disampaikan tanpa menunjukkan bukti scientific dan tervalidasi.
“Itu juga menunjukkan bahwa kita semua bisa menilai bahwa polisi sedang menghindar dari tanggungjawab hukum yang seharusnya mereka hadapi,” ungkapnya.
Andi mengatakan bahwa obstruction of justice bisa merusak criminal justice system atau sistem peradilan pidana Indonesia yang sejatinya bertumpu pada proses penyidikan polisi yang akuntabel.
“Hingga hari ini kami juga tidak melihat ada akuntabilitas, keterbukaan, keterlibatan pihak ekternal mulai awal penyelidikan dan penyidikan hingga sekarang,” imbuhnya.
Tindakan tindakan yang dilakukan pihak kepolisian menurutnya semakin menguatkan dugaannya bahwa penembakan gas air mata memang terjadi secara sistematis dan sesuai rantai komando.
“Indikasi obstruction of jusitce itu memperihatinkan. Ini semakin menguatkan dugaan kami bahwa polisi adalah pihak yang paling bersalah. Polisi sedang melindungi aktor yang sesungguhnya, orang yang paling bertanggungjawab dalam tragedi Kanjuruhan,” tandasnya.