Menyemai Kediri di Putaran Arus Tionghoa dan Arab

Metaranews.co
Rumah Tionghoa di Pakelan, Kota Kediri. (dok Fathoni)

Metaranews.co, Kediri – Peradaban di Kediri tak dapat dipisahkan dari pribumi, etnis Tionghoa dan Arab. Interaksi sosial yang terjadi pada masa lampau membangun Kediri hingga bertemu dengan takdir usianya 1143 tahun pada 27 Juli 2022. Hubungan antara kaum pribumi, Tionghoa, dan Arab pun membangun sistem perekonomian dan kebudayaan yang saling membaur. Dalam hal perekonomian, Sungai Brantas menjadi penghubung kebutuhan masyarakat dari masa ke masa.

Andil orang-orang Tionghoa dalam memajukan peradaban Kota Kediri rupanya sangatlah besar, salah satunya soal pemajuan ekonomi dan budaya.Tercatat, hubungan antara etnis Tionghoa dengan pribumi di Kota Kediri terjadi sejak zaman kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa prasasti yang menulis tentang orang-orang dari daratan Cina yang berdagang di Kota Kediri

Bacaan Lainnya

Sejarawan Kota Kediri, Sigit Widyatmoko mengatakan, kebersamaan dan kerjasama orang-orang Tionghoa dengan pribumi di Kota Kediri dimulai abad ke tujuh. Dahulu orang Tionghoa datang berdagang ke Kediri membawa barang seperti sutra, porselen, sampang atau pernis dan pulang ke negerinya membawa rempah.

“Nusantara itu memang salah satu jalur perdagangan orang-orang Tiongkok, salah satu yang memang menjadi jujukan orang-orang Cina di Nusantara ini adalah Kediri, karena Kediri dikenal rempahnya,” jelas Sigit kepada Metara, Selasa (26/7/2022).

Menurut Sigit, dari jalur perdagangan ini para pedagang dari Tiongkok membuat kelompok-kelompok kecil yang kemudian hari dinamai Pecinan. Kelompok tersebut menjadi besar usai adanya gelombang migrasi besar pada masa Dinasti Qing.

“Sungai Brantas ini dahulu adalah termasuk jalur sutra, pedagang-pedagang dari etnis Cina datang kesini. Mereka ini berangkat dan pulang ke negerinya kan lama menunggu musim, pulang pergi bisa menunggu satu tahun, di sela-sela menunggu ini mereka mendirikan kelompok kecil,” tuturnya.

Dari kelompok Pecinan ini kemudian muncul komunitas perdagangan tetap di Kediri.

“Mereka memegang peran yang luar biasa, diakui atau tidak diakui orang-orang Tionghoa ini memiliki kontribusi yang luar biasa dan telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, entah mereka sebagai pembeli hasil pribumi atau mereka mempekerjakan pribumi,” katanya.

Selain melakukan kegiatan ekonomi, orang-orang Tiongkok ini merupakan orang-orang yang mau membayar retribusi kepada pemerintah, baik itu sejak zaman kerajaan, penjajahan hingga setelah kemerdekaan.

“Mereka melegitimasi setiap kepemimpinan yang ada, untuk keberlangsungan hidup di setiap zamannya,” tuturnya.

Metaranews.co
Kelenteng Tjoe Hwie Kiong di Kota Kediri. (Muklis/Metaranews)

“Peninggalan arkeologis dari orang-orang Tiongkok, dan digunakannya uang Negeri Cina disini, ini merupakan kontribusi ekonomi yang luar biasa. Mereka juga banyak mendirikan pusat perekonomian yang hingga saat ini masih dipakai,” tuturnya.

Senada dengan Sigit, Sejarawan Kediri, Novi Bahrul Munib menyebut selain ekonomi, orang-orang Tiongkok juga mempengaruhi budaya pribumi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya budaya yang dipakai pribumi hingga saat ini.

“Seperti tahu, Bakso, Bakmi, Rokok dan banyak makanan yang sebenarnya adalah jenis makanan atau barang dari Tiongkok namun diolah dengan bahan dan cara daerah sini,” katanya.

Dia juga menyebut, selain makanan corak warna pada batik-batik di Kediri juga banyak dipengaruhi oleh budaya orang-orang Tiongkok.

“Warna batik juga banyak dipengaruhi mereka. Jadi mereka ini pencetus warna-warna yang mencolok,” jelasnya.

 

Mencari Kampung Arab di Kediri
Sama halnya seperti Pecinan, Kota Kediri rupanya dahulu memiliki Kampung Arab. Namun hingga kini belum diketahui pasti dimana komunitas orang-orang dari Timur Tengah tersebut berada.

Sejarawan Kediri, Novi Bahrul Munib mengatakan komunitas pedagang Arab ini diketahui ada tak lama setelah adanya kelompok saudagar dari Etnis Tionghoa. Mereka datang lewat jalur rempah.

Berbeda dengan orang-orang dengan etnis Tionghoa yang hanya melakukan perdagangan, para pendatang dari Arab datang untuk berdagang sembari menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

“Sampai sekarang belum ada literatur pasti dimana ada kampung arab, namun biasanya mereka bermukim di sekitar kauman, kalau di Kota Kediri ya kemungkinan di sekitar Bandar Kidul di daerah tenun ikat itu,” jelas Novi saat dihubungi Metaranews, Selasa (26/7/2022).

Menurut Novi, komunitas saudagar Arab ini tak lebih besar dari komunitas etnis Tionghoa, namun membawa pengaruh besar salah satunya adalah islamisasi di Kota Kediri.

“Kebanyakan memang membawa misi islamisasi sekaligus berdagang. Seperti contoh adanya Pangeran Makkah, atau  yang dikenal Syekh Wasil di abad-10 itu,” tuturnya.

Metaranews.co
Makam Syekh Wasil di kompleks Masjid Setono Gedong, Kelurahan Pakelan, Kota Kediri. (dok Kelurahan Pakelan)

Berbeda dengan Novi, Sejarawan, Sigit Widyatmoko menyebut komunitas dari timur tengah di Kota Kediri bukanlah dari negara Arab melainkan dari Persia, Mesir, Hadramaut. Dan tempat mereka tidak menyatu, seperti komunitas Tionghoa.

Dahulu menurutnya orang-orang dari timur berkelompok di sekitar Kelurahan Jamsaren bukan di Kauman. Menurutnya Kauman hanyalah suatu kosmologi sistem tata letak keraton yang dahulu ditempati orang-orang kaum atau santri. Isinya adalah orang-orang santri lokal dan Arab.

“Kalau saya mengatakan bukan kampung arab tapi Pakojan atau kampung orang-orang India, namun kemudian disebut kampung Arab,” tuturnya.

“Disini (Kota Kediri) kemungkinan ada Pakojan yang besar, namun mereka tidak mendapatkan tempat, karena ekonomi itu sifatnya hegemoni dan pada masa itu yang memegang hegemoni adalah kelompok cina jawa, arab kurang memegang peran ekonomi, mereka banyak di daerah pesisir,” tuturnya. Namun menurut Sigit meskipun kecil, peran saudagar arab ini sangatlah besar. Salah satunya adalah adanya agama islam.

“Kediri ini adalah episentrum penyebaran agama Islam di Jawa Timur bahkan di Indonesia dan itu berkat mereka (Saudagar dari Timur Tengah). Sehingga secara politis kehidupan masyarakat ini tak lepas dari ajaran agama Islam, bukan Arab orang negara Arab,” tuturnya.

Sigit menyebut, komunitas yang besar menurutnya ada di daerah Kabupaten Kediri tepatnya di Kecamatan Pare.

“Kalau di Kota Kediri tidak banyak ditemukan literatur tentang ini seperti di Surabaya dengan ampelnya atau di Malang,” tukasnya.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *