Anggota DPRD Kaltim Sigit Wibowo Kritik Prosedur Pajak dan Izin yang Rumit

Sigit Wibowo
Caption: Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Sigit Wibowo. Doc: Metaranews.co

Metaranews.co, Kota Samarinda – Di balik semarak Hari Pajak Nasional, suara kritis datang dari Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Sigit Wibowo, yang menyoroti masih rumitnya prosedur layanan pajak dan perizinan.

Menurutnya, pelayanan yang menyulitkan hanya akan menjauhkan masyarakat dari kewajiban hukum, yang semestinya bisa diakses secara adil dan mudah.

Sigit mengungkapkan, keluhan masyarakat terhadap layanan publik seperti pembayaran pajak kendaraan, proses balik nama, hingga pengurusan sertifikat tanah, masih banyak ditemukan.

Salah satu contoh nyata adalah kewajiban menunjukkan KTP asli pemilik lama untuk menyelesaikan tunggakan pajak kendaraan yang sudah lewat lima tahun.

“Kadang KTP ada, kadang tidak. Kalau pemerintah masih minta KTP asli, ya lucu. Seharusnya disiapkan syarat alternatif agar masyarakat tetap bisa memenuhi kewajibannya,” kata Sigit saat ditemui pada Senin (14/7/2025).

Ia menekankan, dengan adanya infrastruktur digital yang semakin canggih, instansi pelayanan publik seharusnya bisa mengakses data wajib pajak tanpa bergantung pada dokumen fisik yang kerap sulit dihadirkan.

“Semua data sekarang sudah tersimpan di server. Harusnya bisa dilacak. Jangan sampai negara ingin dapat pemasukan, tapi malah membuat warga kesulitan,” tambahnya.

Selain soal pajak kendaraan, Sigit juga menyoroti kerumitan dalam pengurusan izin usaha, khususnya izin tambang galian C yang kini berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi.

“Kalau izinnya susah keluar, masyarakat tetap akan nambang ilegal. Lebih baik diberikan izin dengan syarat jelas, sambil diawasi aparat. Kita bisa dorong PAD juga dari situ,” ungkap politikus PAN itu.

Sigit menegaskan bahwa jika pemohon telah memenuhi syarat seperti Amdal dan izin lingkungan, maka pemerintah tidak semestinya menunda penerbitan izin.

Tak hanya itu, Sigit turut menyinggung mahalnya biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang dinilainya memberatkan masyarakat kecil dalam mengurus kepemilikan tanah.

“BPHTB-nya mahal sekali. Katanya bisa dinego. Kalau memang bisa dinego, ya harus sesuai dengan kemampuan masyarakat. Kalau tidak, ya masyarakat tidak akan punya hak milik,” katanya.

Untuk itu, Sigit mendorong sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menghadirkan pelayanan publik yang inklusif dan bebas pungli.

Ia juga menganjurkan masyarakat untuk mengurus langsung administrasi guna menghindari praktik titipan.

“Sekarang lebih baik urus sendiri. Pelayanan harus transparan dan efisien,” pungkasnya. (ADV)

Pos terkait