Belajar dari Doni Wicaksono Jati, Pelestari Aksara Kawi yang Nyaris Punah

Doni Wicaksono Jati
Caption: Doni Wicaksono Jati (kanan) berfoto bersama pengunjung usai memperkenalkan Aksara Kawi di Museum Sri Aji Jayabaya, Jumat (20/6/2025). Doc: M Nasrul

Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Indonesia adalah bangsa yang kaya, tidak hanya dalam hal Sumber Daya Alam (SDA), tetapi juga keberagaman budayanya.

Namun di balik keberagaman itu, ada aksara yang kian langka dan terancam punah, Aksara Kawi namanya.

Aksara Kawi merupakan Aksara Jawa Kuno yang digunakan antara abad ke-8 hingga ke-16 Masehi, yang dipakai pada era Kerajaan Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari, hingga Majapahit.

Namun penggunaan Aksara Kawi kini jarang, dan dikhawatirkan akan sirna bila tidak ada upaya pelestarian.

Beruntung, di tengah kekhawatiran itu, masih ada individu yang gigih melestarikan aksara kuno ini. Salah satunya adalah Doni Wicaksono Jati, pelestari Aksara Kawi asal Kelurahan Bangsal, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri.

Perjalanan Doni Mendalami Aksara Kawi

Pria kelahiran tahun 1979 ini telah mendedikasikan lebih dari sepuluh tahun untuk memahami dan mendalami Aksara Kawi.

Doni bercerita, ketertarikannya bermula dari kebiasaan orang tuanya yang sering mengajaknya mengunjungi situs-situs bersejarah, sejak ia masih duduk di bangku SMP, sekitar tahun 90-an.

“(Mulai belajar) sekitar tahun 90-an, waktu itu masih duduk di bangku SMP,” kenang Doni saat ditemui METARA, Jumat (20/6/2025).

Orang tua Doni merupakan seorang budayawan, yang memiliki ketertarikan lebih pada benda purbakala. Berbeda dari orang tuanya, Doni justru menemukan daya tarik pada ukiran relief di situs-situs tersebut.

Ukiran relief tersebut salah satunya merupakan Aksara Kawi, yang ditulis timbul di tempat-tempat peribadatan kuno seperti candi.

“Penglihatan saya selama berkunjung ke situs-situs, kan ada tuh berbagai ukiran yang melambangkan tahun pembuatan. Nah saya baru sadar, ternyata yang terpenting adalah ukiran, bukan temuannya,” ucap Doni.

Ia terpesona dengan ukiran huruf berbentuk persegi yang menonjol dari permukaan batu. Setelah ditelusuri, Doni menyadari bahwa aksara tersebut digunakan oleh para leluhur di Nusantara.

Dari situlah, timbul inisiatifnya untuk kembali memunculkan aksara warisan leluhur ini di era modern, yang kini penggunaannya semakin langka dan nyaris punah.

Adapun Doni mendalami Aksara Kawi secara otodidak. Berbekal jejaring kerabat, ia perlahan belajar mengenai Aksara Kawi.

Upaya pelestarian Aksara Kawi semakin masif pada tahun 2013, saat penggunaan media sosial Facebook mulai marak.

Perlahan para budayawan dan pelestari Aksara Kawi berinteraksi di platform tersebut. Dari komunikasi di media sosial itulah percakapan meluas hingga pembahasan aksara.

“Saya juga sudah pakai (memiliki akun) Facebook saat itu, dan dibentuklah grup Facebook,” tuturnya.

Grup Facebook ini lantas menjadi wadah bagi para budayawan untuk membentuk komunitas khusus yang terdiri dari para ahli budaya.

Hingga kini, komunitas tersebut masih aktif berkomunikasi, dan rutin mengadakan kegiatan internal membahas budaya aksara.

Kelas Aksara Kawi Online

Untuk kembali mengenalkan warisan leluhur yang tak banyak diketahui orang ini, Doni dan rekan-rekan komunitasnya sepakat mendirikan kelas Aksara Kawi.

Kelas ini diadakan secara online, dan telah berjalan lebih dari empat tahun, menjangkau peserta dari berbagai generasi.

“Kami Jawa-Bali. Banyak yang ikut, mulai dari muda, hingga tua juga ada, yang pasti siapa mau ya silahkan ikut,” jelas Doni.

Hingga saat ini, kelas tersebut telah mencetak sepuluh angkatan di Kediri, dan enam angkatan di Bali.

Materi kelas terdiri dari delapan modul yang diperkirakan selesai dalam dua bulan. Luar biasanya, Doni tidak pernah memungut biaya sepeser pun alias gratis untuk kelas Aksara Kawi ini.

Tujuannya jelas, agar masyarakat dari lintas generasi memahami bahwa ada aksara lain yang lebih tua dari Aksara Jawa, yakni Aksara Kawi.

Menurut Doni, seiring perkembangan zaman, kini semakin banyak orang yang tertarik untuk mengetahui sejarah Nusantara, terutama Aksara Kawi.

Hal ini terbukti dari antusiasme pengunjung saat pameran temporer dibuka oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri beberapa waktu lalu.

Pameran temporer itu berlangsung di Museum Sri Aji Jayabaya, Jalan Toton Kerot, Desa Menang, Kecamatan Pagu, dan dibuka langsung oleh Wakil Bupati Kediri, Dewi Maria Ulfa, Selasa (17/6/2025).

Dalam momen itu, banyak anak sekolah yang bertanya tentang Aksara Kawi ke Doni, yang juga berpartisipasi pada pameran temporer tersebut, bahkan lansia pun turut menunjukkan minatnya.

“Ada juga kok dari kalangan lansia yang ingin tahu sejarah Aksara Kawi di Museum (Sri Aji Jayabaya) ini,” ungkap Doni.

Meskipun terhalang waktu yang terbatas dalam kegiatan tersebut, Doni berupaya memperkenalkan cara penulisan nama menggunakan Aksara Kawi kepada pengunjung.

Ia juga memberikan selebaran berisi huruf latin Aksara Kawi kepada setiap pengunjung, dan menawarkan kesempatan untuk mendalami lebih lanjut melalui kelas khusus.

Jejaring Komunitas Budaya

Komunitas pelestari Aksara Kawi, yang bermula dari jejaring media sosial Facebook, kini tetap lestari dan rutin menyelenggarakan agenda tahunan.

“Kopdar atau bisa disebut jambore, intinya silaturahim lah sesama komunitas budayawan,” terang Doni.

Komunitas ini telah mengadakan kopdar sebanyak tiga kali di Kediri dan sekitarnya, seperti di Kediri, Ponorogo, dan Tulungagung.

“Besok Juli ke Blitar, itu acara kami yang keempat,” bebernya.

Sementara itu, Doni juga menyampaikan keprihatinannya kepada para pegiat budaya, yang banyak dari mereka tak memahami Aksara Kawi.

Oleh karenanya, Doni mengajak para pegiat budaya dan khalayak umum untuk belajar Aksara Kawi, agar bahasa kuno ini tetap lestari di Bumi Pertiwi.

Terpisah, seorang pengunjung Museum Sri Aji Jayabaya dalam kegiatan pameran temporer, Jazilliyati (23), mengaku baru mengetahui keberadaan Aksara Kawi.

“Baru tahu ini sih ada bahasa kuno sebelum Aksara Jawa. Padahal waktu sekolah hanya diajar Aksara Jawa, bukan Aksara Kawi ini,” ujarnya.

Jazil berharap pemerintah atau dinas pendidikan dapat mempertimbangkan untuk menambahkan Aksara Kawi dalam pelajaran bahasa Jawa, guna memperluas pengetahuan masyarakat.

“Meskipun tidak banyak, sedikit saja kan sudah cukup ya. Biar anak sekolah juga tahu bahwa ada aksara lain sebelum adanya Aksara Jawa,” tutup Jazil.

Pos terkait