Metaranews.co, Kota Samarinda – Deru skandal proyek fiktif PT Telkom menyeret seorang wakil rakyat Kalimantan Timur berinisial KMR ke meja hijau.
Menjadi sorotan publik, Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) memilih langkah hati-hati.
Ketua BK DPRD Kaltim, Subandi, menyatakan bahwa pihaknya belum dapat mengambil tindakan sebelum ada putusan hukum berkekuatan tetap atau inkrah dari pengadilan.
“Kami prihatin atas kejadian ini. Tapi karena kasus ini telah menjadi domain aparat penegak hukum, maka sepenuhnya kita serahkan kepada mereka. Kita harus hormati prosesnya,” ujar Subandi kepada media, Selasa (13/5/2025).
KMR merupakan anggota DPRD Kaltim dari Partai NasDem, dan terpilih dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kota Balikpapan.
Ia ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, dalam kasus dugaan korupsi proyek fiktif di PT Telkom Indonesia senilai Rp 431,7 miliar.
Diduga, KMR menjadi pengendali dua perusahaan yang terlibat langsung dalam kerja sama fiktif dengan anak perusahaan BUMN tersebut.
Menurut Subandi, kewenangan BK DPRD hanya berlaku dalam konteks pelanggaran etika. Jika suatu perkara sudah memasuki ranah pidana dan ditangani oleh aparat hukum, maka lembaga etik seperti BK tidak memiliki otoritas untuk mencampuri proses tersebut.
“BK tidak bisa bertindak jika belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kalau sudah inkrah dan terbukti bersalah, barulah kami bisa memberikan rekomendasi kepada pimpinan dewan,” jelasnya.
Subandi juga mengingatkan bahwa seluruh anggota DPRD Kaltim terikat oleh sumpah jabatan untuk menjaga integritas dan kehormatan lembaga.
Peristiwa seperti ini, tutur Subandi, harus menjadi pelajaran agar para anggota dewan tidak mencoreng kepercayaan publik.
“Saya mengimbau kepada teman-teman anggota DPRD agar menjaga perilaku dan marwah lembaga. Jangan sampai ada lagi tindakan yang melanggar hukum ataupun norma etik,” tambah Subandi.
KMR bersama tujuh tersangka lain kini ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang. Satu tersangka lainnya menjalani tahanan kota di Depok, karena kondisi kesehatan yang memerlukan perawatan khusus.
Kesembilan tersangka ini dijerat dengan pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi, serta pasal 55 KUHP tentang Penyertaan dalam Tindak Pidana.
Kasus ini bermula dari kerja sama fiktif antara PT Telkom dan sembilan perusahaan swasta dalam kurun waktu 2016–2018.
Pengadaan alat-alat seperti smart supply management system, peralatan listrik, hingga perangkat medis senilai ratusan miliar rupiah tidak pernah terealisasi di lapangan.
PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa, yang disebut-sebut berada di bawah kendali KMR, termasuk dalam perusahaan yang mendapat proyek tersebut.
Terkait kelanjutan karier politik KMR, Subandi menegaskan bahwa hal itu menjadi domain partai politik yang bersangkutan.
Jika putusan hukum menyatakan bersalah, maka partai memiliki kewenangan untuk menjalankan proses Pergantian Antar Waktu (PAW).
“BK tidak mengatur soal PAW. Jika terbukti secara hukum, maka fraksi atau partainya akan melakukan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan internal,” pungkas Subandi. (ADV)