Metaranews.co, Kota Samarinda – Aroma perseteruan antara perusahaan perkebunan dan petani kembali terjadi Kalimantan Timur (Kaltim).
Komisi II DPRD Kaltim mengambil langkah tegas dengan merekomendasikan penghentian sementara aktivitas land clearing dan penanaman oleh PT Budi Duta Agro Makmur (BDA) di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) 01.
Langkah ini muncul usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Gedung E DPRD Kaltim, Senin (2/6/2025), menyusul sengketa antara perusahaan dan Gabungan Kelompok Tani Sejahtera.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, keputusan penghentian sementara ini bertujuan untuk menjaga netralitas proses penyelesaian konflik agraria yang masih berjalan dan memberikan ruang verifikasi atas klaim masyarakat.
“Perusahaan kami minta untuk menghentikan kegiatan land clearing dan penanaman di HGU 01 selama satu setengah bulan. Tujuannya agar kita bisa memverifikasi kebenaran klaim masyarakat di lapangan secara bersama-sama,” kata Sapto saat memimpin RDP.
Sapto menekankan bahwa rekomendasi ini selaras dengan surat dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor HT.01/542-400.19/IV/2024 tertanggal 23 April 2024, yang menyatakan bahwa status lahan HGU 01 masih dalam proses perpanjangan.
Ini berarti, tutur Sapto, secara administratif hak pemanfaatan lahan oleh perusahaan belum sepenuhnya tuntas.
“Jangan sampai masyarakat yang hanya melakukan tanam tumbuh tanpa dokumen hak atas tanah kemudian menjadi korban. Tapi kita juga tidak ingin perusahaan dipersalahkan sepihak,” lanjutnya.
Konflik antara kelompok tani dan perusahaan bukan fenomena asing di Kaltim. Kali ini, Gabungan Kelompok Tani Sejahtera mengklaim telah mengelola sebagian lahan tersebut jauh sebelum PT BDA melakukan ekspansi.
Sementara pihak perusahaan menyatakan bahwa seluruh aktivitas mereka sah, karena berada dalam wilayah konsesi HGU yang mereka miliki.
Dalam suasana penuh kehati-hatian, Sapto meminta kedua pihak untuk segera menyerahkan dokumen penting terkait perizinan, batas wilayah, hingga kewajiban kemitraan plasma kepada Komisi II DPRD paling lambat 9 Juni 2025.
“Kami minta semua data termasuk peta perizinan, kewajiban plasma, hingga kronologi proses perizinan disampaikan paling lambat 9 Juni. Kalau lewat dari itu, kami tidak akan lagi memediasi dan menyarankan diselesaikan lewat jalur hukum,” tegas Sapto.
Ia juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah memiliki instrumen hukum yang bisa menjadi dasar penyelesaian konflik seperti ini.
“Sudah ada Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang perlindungan tanah wilayah termasuk hutan rakyat dan adat. Tapi sayangnya, implementasinya belum konsisten,” tuturnya.
Dalam RDP tersebut, Komisi II juga menyoroti kewajiban perusahaan dalam menyelesaikan ganti rugi terhadap tanaman tumbuh milik masyarakat.
Komitmen itu sebelumnya telah dituangkan dalam kesepakatan tanggal 19 September 2024, dan diperkuat dalam rapat lanjutan pada 28 Mei 2025 di Kantor Bupati Kutai Kartanegara.
Komisi II tidak hanya mengandalkan jalur diskusi lokal. Mereka berencana mengirim delegasi ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta bersama perwakilan organisasi perangkat daerah (OPD), masyarakat, dan pihak perusahaan untuk mengklarifikasi legalitas HGU 01 secara langsung.
“Kalau perlu kita bentuk Pansus (Panitia Khusus), agar persoalan ini tidak berlarut. Tapi kami berharap niat baik dari kedua belah pihak lebih diutamakan daripada terus membawa konflik ini ke ranah hukum,” ucap Sapto.
Tak berhenti di meja rapat, Komisi II bertekad untuk turun langsung ke lapangan bersama para pihak. Verifikasi langsung ini dianggap krusial dalam memastikan fakta-fakta yang berkembang di tengah masyarakat dan menyusun laporan final untuk pemerintah pusat.
Mereka juga meminta Kementerian ATR/BPN memberikan peta digital lengkap dan koordinat pasti dari wilayah HGU 01, agar kejelasan batas dapat segera disepakati.
“Kita ingin ini diselesaikan dengan kepala dingin. Tidak ada yang saling menyalahkan. Tapi kalau semua itikad baik sudah habis, kami tidak ragu menyarankan penyelesaian lewat pengadilan atau membentuk pansus DPRD,” pungkas Sapto.
Langkah Komisi II ini menjadi cermin dari dorongan legislatif untuk memperkuat mekanisme penyelesaian konflik agraria di daerah.
Sengketa semacam ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga tentang keberimbangan antara hak usaha dan hak masyarakat adat atau lokal yang kerap tidak memiliki kekuatan dokumen formal.
Dengan waktu satu setengah bulan yang tersedia, semua pihak diharapkan memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan keterbukaan, kejujuran, dan kesediaan menyelesaikan masalah tanpa harus menyeret konflik lebih jauh.
Komisi II tetap membuka ruang mediasi, namun juga bersiap jika jalur hukum menjadi satu-satunya pilihan terakhir. (ADV)