Metaranews.co, Kediri – Wilayah Kabupaten Kediri terkenal dengan berbagai situs peninggalan purbakala zaman kerajaan. Salah satunya adalah Situs Watu Gajah yang ada di Desa Gadungan, Kecamatan Puncu. Situs ini ternyata telah menjadi lokasi kunjungan wisata sejarah favorit sejak zaman Kolonial Belanda.
Hal tersebut diketahui pada artikel sebuah koran pada tahun 1930-an. Media cetak era Hindia Belanda saat itu memuat berita tentang keberadaan Situs Watu Gajah yang begitu eksotis di tengah hutan.
“Pada foto yang ditampilkan pada koran itu terlihat seorang anak naik pada situs Watu Gajah,” ujar penggiat sejarah Novi Bahrul Munib, Sabtu (14/1/2023).
Pria yang juga aktif di Komunitas Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri itu juga menyebut, bahwa sejak zaman kolonial, Watu Gajah memang dianggap istimewa. Karena benda purbakala tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dan sangat unik.
“Saat ini situs tersebut merupakan bagian dari Benda Cagar Budaya Kabupaten Kediri,” ujarnya.
Memang belum diketahui secara pasti sejak era kerajaan apa arca Watu Gajah di Desa Gadungan, Kecamatan Puncu ini dibuat. Sebab tak ada bukti-bukti otentik yang menunjukkan angka tahun pembuatan peninggalan sejarah ini.
Lokasi situs ini berada di tengah hutan milik Perhutani. Tepatnya di RPH Jatirejo, BKPH Pare. Perjalanan ke sana memang cukup sulit, melalui jalanan tanah berbatu di tengah hutan.
Untuk saat ini, situs cagar budaya ini kondisinya aman, diberi cungkup dan dikelilingi pagar besi. Menunjukkan upaya pelestarian peninggalan sejarah dilakukan dengan baik.
Novi menyebut, arca ini dipahat pada batu monolit tapi belum selesai dibuat, karena tokoh yang menuntun gajah masih terlihat samar.
Meski demikian, untuk objek utama berupa seekor gajah sudah terlihat jelas. Dari pahatan itu, tampak seekor gajah induk menggandeng anak gajah. “Pada sisi lain terdapat tokoh manusia atau pawing gajah yang membawa alat mengatur gajah (angkusa),” jelasnya.
Dari catatannya, penemuan watu gajah ini tak lepas dari keberadaan Leendert Albert van de Ven Renardel de Lavalette. Yang saat itu menjadi kepala kehutanan di Pare pada era Hindia Belanda.
Ia menyebut bahwa suatu hari ketika mengendarai Bendi, ia melakukan survei ke hutan di wilayah Pare, yang saat ini masuk Dusun Sumberbahagian, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu.
Ditengah hutan, pada jalan setapak Bendi yang dinaiki Leendert menabrak bongkahan batu hingga rusak.
Karena kesal dan selalu terganggu oleh bongkahan batu saat melewati jalan itu, ia pun kemudian menyuruh para kuli untuk menggali batu tersebut untuk di tepikan dari tengah jalan. Saat selesai digali itulah, bongkahan batu yang selama ini mengganggu perjalanannya di tengah hutan itu wujudnya terlihat jelas.
“Batu tersebut menggambarkan seekor Gajah dengan anaknya. Oleh karena hal tersebut dirasa unik, maka ia memerintahkan untuk memindahkan batu tersebut di pinggir jalan,” tambahnya.
Situs ini telah masuk catatan penetapan cagar budaya Kabupaten Kediri. Karena menunjukkan kebudayaan yang berkembang di masa kerajaan Hindu-Budha.
Menurutnya, meski belum diketahui secara pasti perihal masa pembuatan dan fungsinya, yang jelas keberadaan artefak batu gajah ini dapat menunjukkan adanya domestifikasi pada gajah di Kediri. Pada masa lalu gajah digunakan sebagai sarana dalam mendukung kehidupan manusia.