Hari Buku Dunia: Saatnya Mengenang dan Mewarisi Semangat Literasi yang Terlupakan

Hari Buku Nasional
Caption: Penerbitan Tan Khoen Swie Kediri. Courtesy of Tan Khoen Swie

Oleh : Imam Mubarok

Metaranews.co – Di tengah riuh peringatan Hari Buku Dunia yang jatuh setiap 23 April, kita seperti dipaksa untuk menengok kembali – bukan hanya ke rak buku – tapi ke sejarah yang nyaris terkubur.

Salah satu nama yang layak berdiri paling depan dalam peringatan ini adalah Tan Khoen Swie, seorang penerbit dari Kota Kediri yang memilih melawan penjajahan tidak dengan senjata, melainkan dengan kalimat dan kesadaran.

Di masa kolonial Belanda, Tan Khoen Swie berdiri sebagai satu dari sedikit pelopor literasi yang berani.

Melalui Boekhandel Tan Khoen Swie (TKS), ia menerbitkan buku-buku yang membangkitkan semangat kebangsaan, membuka ruang berpikir, dan memberi arah kepada rakyat yang tengah mencari jati diri.

Di tengah pembatasan dan pengawasan ketat, ia tak gentar.

Salah satu buku penting yang diterbitkannya adalah Atoeran dari Hal Melakoeken Hak Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland (1932), karya R Boedihardjo, Patih Lumajang.

Buku ini secara terang-terangan memberi pemahaman pada rakyat tentang hak berserikat dan berpendapat – sebuah gagasan progresif yang tentu tak disukai penguasa kolonial.

Tak lama berselang, pada 1941, Tan kembali menerbitkan Tjinta Kebaktian pada Tanah Air, sebuah seruan reflektif tentang arti mencintai bangsa tanpa pamrih.

Tan adalah pejuang sunyi. Keturunan Tionghoa, berdagang kerupuk dan onderdil demi mendanai penerbitan, tapi tak pernah menyerah menebarkan cahaya lewat aksara.

Tan Khoen Swie membuktikan bahwa perlawanan tidak selalu butuh senjata, tapi selalu butuh keberanian.

Kini, lebih dari 400 judul buku warisan TKS tersimpan di bekas rumah penerbitannya di Jalan Dhoho No 105, Kota Kediri.

Sebagian besar ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa, Latin, serta Melayu.

Masing-masing buku memuat denyut zaman, merekam perlawanan kultural terhadap penjajahan, dan membangun kesadaran akan pentingnya menjadi bangsa yang melek huruf – melek pemikiran.

Namun, ironi besar menyergap kita di Hari Buku Nasional ini. Literasi Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

Menurut berbagai survei global, termasuk Programme for International Student Assessment (PISA), kemampuan membaca dan minat baca anak-anak Indonesia terus berada di posisi bawah dunia.

Di tengah banjir informasi digital, minat terhadap buku semakin tergerus. Bahkan di sekolah, membaca kerap hanya menjadi beban tugas, bukan kebutuhan jiwa.

Dalam konteks ini, nama Tan Khoen Swie harus lebih dari sekadar catatan kaki sejarah. Ia adalah cermin bahwa literasi adalah kekuatan bangsa.

Ia membuktikan bahwa dari kota kecil seperti Kediri, bisa lahir gerakan besar yang mengubah cara bangsa ini berpikir.

Hari ini, di saat buku-buku semakin asing di tangan anak muda, dan ruang baca tergantikan layar ponsel, kita perlu bertanya, masihkah kita percaya bahwa buku adalah pencerah? Jika iya, sudahkah kita mewarisi semangat Tan Khoen Swie?

Karena sejatinya, bangsa yang melupakan buku adalah bangsa yang kehilangan cahaya, dan Tan Khoen Swie telah menyalakan lentera itu lebih dari seabad lalu – dari Kediri, untuk Indonesia.

Pos terkait