Jejak Fragmen Kepala Ganesha dari Sawah Kediri hingga Hilang Dicuri

Kediri
Caption: Kepala Arca Ganesha koleksi Museum Bagawanta Bhari Kediri yang sempat hilang. Doc: Syukron Naim, Staf Bupati Kediri

Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Aksi massa yang memuncak berujung penjarahan di Museum Bagawanta Bhari, Kediri, pada Sabtu (30/8/2025) menyisakan luka mendalam bagi dunia kebudayaan.

Salah satu koleksi berharga, fragmen kepala Ganesha, dilaporkan raib bersama beberapa benda lain seperti kain wastra batik, dan rusaknya miniatur lumbung kuno.

Bacaan Lainnya

Namun di balik kabar kehilangan itu, tersimpan cerita panjang bagaimana fragmen kepala Ganesha pertama kali ditemukan.

Sebuah kisah yang dimulai di lahan sawah sederhana, bertahun-tahun sebelum akhirnya dipajang di museum.

Dari Sawah ke Sejarah

Kisah bermula pada September 2008 di Dusun Babadan, Desa Sumber Cangkring, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri.

Kala itu, tiga warga setempat yakni Syai’in (47), Hasan (27), dan Suprapto (23) tengah menggali tanah kas desa untuk membuat batu bata.

Aktivitas rutin itu mendadak berubah ketika cangkul Syai’in menghantam benda keras di kedalaman sekitar satu meter.

“Awalnya saya kira hanya batu cadas biasa. Tapi setelah digali hati-hati, ternyata ada ukiran bergambar wajah Kala,” kenang Syai’in kala itu.

Benda yang mereka angkat bukan batu sembarangan, melainkan fragmen gapura candi dengan relief Kala.

Ukurannya 48 sentimeter panjang, 35 sentimeter tebal, dan 45 sentimeter lebar. Temuan itu menjadi awal dari serangkaian penemuan bersejarah di lahan sawah Babadan.

Temuan Demi Temuan

Dua hari setelahnya, para penggali kembali menemukan benda lain ketika menggali tanah dua meter dari lokasi pertama.

Dari kedalaman 1,45 meter, mereka mengangkat sebuah arca Dwarapala setinggi 98 sentimeter, tebal 76 sentimeter, dan lebar 28 sentimeter.

Seakan tak berhenti di situ, pada Minggu (7/9/2008), cangkul mereka lagi-lagi mengenai benda aneh.

Kali ini, sebuah arca kepala dewa setinggi 48 sentimeter, dengan tebal 35 sentimeter dan lebar 45 sentimeter.

Dan akhirnya, sekitar satu meter di bawah kepala dewa itu muncullah temuan yang kemudian menjadi sangat berharga, fragmen arca Ganesha.

Ukurannya relatif kecil, hanya 16 sentimeter tingginya, dengan tebal 17 sentimeter, dan lebar 17 sentimeter.

Meski kecil, fragmen itu diyakini menyimpan makna besar karena Ganesha dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

Arkeolog Menyibak Misteri

Temuan warga Babadan segera dilaporkan oleh Imam Syafi’i, Kaur Keuangan Desa Sumber Cangkring, kepada pihak berwenang.

Polisi memasang garis kuning di lokasi, menghentikan sementara aktivitas penggalian tanah.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan – sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI – segera turun tangan.

Kepala BP3 saat itu, I Made Kusumajaya, mengungkap bahwa area persawahan Babadan menyimpan indikasi kuat adanya struktur candi.

“Selain fragmen dan arca, ada sungai kecil, dua umpak batu, dan banyak bata kuno yang berserakan. Semua ini mengindikasikan adanya bangunan candi di bawah tanah,” ungkap Made, Rabu (10/9/2008).

Menurutnya, bentuk arsitektur Candi Babadan kemungkinan serupa dengan candi-candi di Jawa Tengah pada masa transisi Kerajaan Mataram Hindu.

Ia bahkan mengaitkan dengan Prasasti Empu Sendok, yang menyebut perpindahan pusat peradaban dari Jawa Tengah ke Jawa Timur akibat bencana, wabah penyakit, atau serangan musuh.

Jejak Kerajaan Kadiri

Arkeolog menduga situs Babadan merupakan bagian dari peninggalan Kerajaan Kadiri, salah satu kerajaan besar di Jawa Timur abad ke-11 hingga ke-12.

Tidak menutup kemungkinan, candi di Babadan semula berfungsi sebagai tempat pemujaan, kemudian perlahan bergeser menjadi area pemukiman warga ketika kerajaan runtuh.

Fragmen yang ditemukan, termasuk kepala Ganesha, diperkirakan rusak akibat bencana alam. Temuan itu juga memiliki kemiripan dengan benda-benda bersejarah di Situs Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, yang ditemukan setahun sebelumnya pada 2007.

Karena itu, BP3 Trowulan berkoordinasi dengan Balai Arkeologi Yogyakarta untuk meneliti lebih jauh keterkaitan antara dua situs bersejarah tersebut.

Dari Lahan Sawah ke Museum

Bagi Syai’in dan kawan-kawan, penemuan itu adalah kejutan besar dalam hidup sederhana mereka sebagai penggali batu bata.

Dari sekadar menggali tanah, mereka menemukan pintu menuju sejarah peradaban Jawa.

Fragmen kepala Ganesha kemudian menjadi salah satu koleksi penting di Museum Bagawanta Bhari, Kediri.

Benda mungil itu disimpan, dipamerkan, dan dikisahkan kepada publik sebagai bagian dari warisan panjang Kerajaan Kadiri.

Hilang di Tengah Aksi Massa

Namun nasib berkata lain. Pada 30 Agustus 2025, ketika massa melakukan aksi anarki di Gedung DPRD dan Kantor Pemerintah Kabupaten Kediri, Museum Bagawanta Bhari ikut menjadi sasaran penjarahan.

Koleksi berharga, termasuk fragmen kepala Ganesha yang ditemukan dari sawah Babadan, dilaporkan hilang.

Hilangnya fragmen kepala Ganesha dari Museum Bagawanta Bhari Kediri sempat membuat dunia budaya resah. Namun benda bersejarah itu akhirnya kembali ditemukan dengan cara yang tak terduga.

Adalah Salman Al-Farisi (16) dan Ahmad Rifqi Fakhruddin (17), dua pelajar SMKN Ngasem asal Desa Bangsongan, Kayen Kidul, yang menjadi penemunya.

Pada Kamis (4/9/2025) pagi, keduanya baru saja tiba di sekolah ketika mata Salman tertumbuk pada sebuah batu aneh di area parkiran motor.

“Saya kira batu biasa, tapi bentuknya mirip arca,” kenang Salman.

Awalnya, ia dan Rifqi sempat berdebat soal identitas benda itu. Petugas parkir pun tak tahu pasti. Hingga siang harinya, saat pulang sekolah, Salman melihat benda tersebut masih tergeletak.

Ia pun memutuskan untuk membawanya pulang demi diamankan.

Sesampainya di rumah, Salman mencari informasi lebih lanjut. Barulah ia sadar bahwa yang ada di tangannya adalah kepala arca Ganesha, koleksi Pemkab Kediri yang sempat hilang dalam kericuhan aksi massa 30 Agustus.

Salman segera memberi tahu ibunya, yang kebetulan bekerja di Pemkab, dan diarahkan untuk mengembalikannya.

Dengan itikad baik, Salman menyerahkan benda berharga itu langsung ke kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri.

Berkat kepedulian dua remaja ini, fragmen kepala Ganesha pun kembali ke pangkuan pemerintah dan masyarakat.

Kini, yang tersisa hanyalah kisah perjalanan artefak itu, dari sebuah cangkul di sawah, ke ruang pamer museum, hingga lenyap dalam kekacauan dan kembali ditemukan.

Fragmen kepala Ganesha bukan lagi sekadar benda arkeologis, melainkan simbol rapuhnya pelestarian sejarah di tengah hiruk pikuk zaman.

Pos terkait