Metaranews.co, Kota Samarinda – Suasana rapat antara DPRD Kaltim dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang semestinya berjalan harmonis mendadak berubah tegang.
Ketua Komisi III DPRD Kaltim, Abdulloh, secara tiba-tiba meninggalkan ruang sidang sebagai bentuk protes terhadap jalannya diskusi yang dianggap tak relevan dengan harapan masyarakat.
Rapat yang digelar pada Senin (14/7/2025) ini membahas hasil reses anggota dewan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kaltim.
Namun, Abdulloh menilai pembahasan hanya berfokus pada teknis revisi kamus usulan pokok-pokok pikiran (pokir), tanpa menggali inti dari aspirasi masyarakat.
“Ini rapat nggak berguna. Saya keluar. Aspirasi masyarakat itu nyata, tapi malah tidak diakomodir,” ujar Abdulloh, legislator daerah pemilihan Balikpapan, sesaat setelah keluar dari ruang rapat.
Sebagai anggota Panitia Khusus (Pansus) Pokir, Abdulloh juga memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan pansus tersebut.
Ia menyayangkan bahwa penyusunan ulang kamus usulan pokir justru menyulitkan penyerapan kebutuhan warga.
“Ini cuma soal usulan kamus-kamus saja. Padahal tanpa itu pun bisa. Tapi kenapa justru aspirasi rakyat, ada pembatasan-pembatasan yang justru mematikan pokir,” lanjutnya dengan nada kecewa.
Abdulloh juga menyoroti pertemuan sebelumnya, termasuk yang digelar di Balikpapan, yang menurutnya hanya menghabiskan waktu dan anggaran tanpa membawa dampak konkret terhadap efektivitas pokir.
Ia menegaskan pentingnya pendekatan partisipatif dalam penyusunan pokir, dengan melibatkan langsung suara masyarakat, bukan hanya terpaku pada kerangka teknis yang sempit.
“Kalau begini caranya, saya akan terus ngotot. Karena ini bukan soal pribadi, tapi soal memperjuangkan suara rakyat,” pungkasnya tegas.
Ketegangan ini mencerminkan adanya jurang antara pendekatan politis berbasis aspirasi publik dan kebijakan teknokratis yang kerap mendominasi pembahasan anggaran.
Diharapkan ada titik temu antara legislatif dan eksekutif untuk kembali menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dalam perencanaan pembangunan daerah. (ADV)