Kisah Kakek 67 Tahun di Kediri Setia Lestarikan Profesi Pandai Besi Warisan Leluhur

Pandai Besi Kediri
Caption: Margiono bersama anak dan karyawannya sedang menempa besi, Rabu (28/5/2025). Doc: Metaranews.co/Darman

Metaranews.co, Kota Kediri – Di tengah modernisasi, Margiono (67), warga Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, Jawa Timur, masih mempertahankan profesi sebagai tukang basi atau pandai besi.

Usaha tersebut merupakan warisan keluarga, yang diturunkan turun-temurun dari sang kakeknya sejak zaman kolonial Belanda.

Bacaan Lainnya

Margiono dengan dibantu Jaenuri (28), putra ke-5 serta seorang pekerja setiap hari memproduksi alat pertanian berupa arit dan cangkul.

Musim giling tebu kali ini sedikit membawa angin segar bagi Margiono, untuk mendapatkan penghasil lebih dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Kakek dengan 12 cucu ini menuturkan, pada musim giling tebu seperti ini pesanan alat pertanian produksinya meningkat terutama arit untuk tebang tebu.

Saat ini pesanan arit dalam seminggu tembus 10 biji, sedangkan untuk cangkul hanya 5 biji setiap bulan.

Arit produksi Margiono dijual Rp 130.000 per biji, dan cangkul dijual Rp 180.000 per biji.

“Alhamdulillah musim giling tebu seperti ini bisa mendapat pesanan hingga sepuluh setiap minggu untuk arit. Kalau cangkul sebulan sekitar lima. Kalau tidak musim giling ya kadang kita nganggur,” jelas Margiono saat ditemui di bengkelnya, Rabu (28/5/2025).

Pesanan arit dan cangkul di tempat Margiono tidak hanya datang dari Kota Kediri, namun juga tembus pasar Kalimantan dan Sumatera, yang kebanyakan pembelinya adalah para perantau saat pulang kampung ke Kediri.

“Selain Kediri pemesan kadang dari orang yang merantau dari Kalimantan dan Sumatera, yang kebetulan pulang mampir ke sini,” ungkapnya.

Kendala yang sering dihadapi oleh perajin alat pertanian, tutur Margiono, yakni sulitnya mendapatkan plat besi yang sesuai ukuran, serta mendapatkan arang untuk proses pembakaran.

“Bahannya ambil dari Surabaya lebih murah dan ukuran cocok, enggak banyak motong, inikan plat bekas. Kalau arang ambil dari Nganjuk, itupun kalau di Nganjuk ada panen kayu,” keluhnya.

Kemampuan Margiono membuat arit dan cangkul ini didapat dari Panijan, orangtuanya. Margiono mulai belajar sejak tahun 1975, namun mulai terjun di dunia pandai besi pada tahun 1988, saat orangtuanya meninggal dunia.

“Ini usaha keluarga sejak zaman (kolonial) Belanda. Saya meneruskan usaha bapak sejak tahun 1988, karena bapak meninggal. Sebetulnya saya belajar sejak tahun 1975, waktu itu hanya bantu saja,” kenangnya.

Hingga kini Margiono tetap istikamah meneruskan usaha warisan ini.

“Saya sejak terjun tidak pernah kerja lain, yang meneruskan hanya saya dan satu adik saya. Tapi adek kadang kerja yang lain kalau sepi. Saya dibantu anak kelima, yang lain kerja di luar,” ujarnya.

“Wong saya sudah tua, asal ada uang untuk pegangan. Kalau enggak ada kerjaan yang main-main saja ke warung,” pungkasnya.

Pos terkait