Metaranews.co, Kabupaten Jombang – Banyak korban kekerasan pada anak yang terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, enggan melanjutkan pendidikannya.
Terhitung pada 2024, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Jombang mencatat ada sebanyak 256 kasus kekerasan perempuan dan anak.
Sementara pada data statistik Simfoni PPA Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Jombang menduduki peringkat ke-2 dengan total 198 kasus.
Dari ratusan korban kasus kekerasan pada anak, sebanyak 19 anak di antaranya putus sekolah dengan berbagai alasan. Penyebabnya, menurunnya minat pendidikan hingga stigma sosial.
“Kita sudah mencarikan berbagai solusi, tapi lanjut atau tidak tetap hak korban,” ujar Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Jombang, M Musyafik, saat dikonfirmasi pada Kamis (10/4/2025).
Berbagai alasan menjadi penyebab korban kekerasan enggan melanjutkan pendidikannya lagi. Salah satunya malu terhadap teman, dan tidak adanya dukungan dari orang tua.
“Kami sudah menjalankan tugas, komunikasi lintas OPD (Organisasi Perangkat Daerah), mencarikan sekolah lain baik antarkecamatan, antarkabupaten, juga pendidikan kesetaraan, melengkapi semua kebutuhan sekolah juga sudah, tapi tetap tidak mau,” lontarnya.
Ratusan kasus kekerasan pada anak di Jombang beragam jenis, mulai dari pengeroyokan hingga pelecehan seksual.
Jumlah kasus yang paling banyak adalah pengeroyokan yakni 40 kasus, KDRT, persetubuhan dan penelantaran masing-masing 37 kasus, dan penganiayaan 24 kasus.
Sementara kasus pencabulan 15 kasus, perebutan hak asuh anak 13 kasus. Pelecehan seksual 11 kasus, ancaman kekerasan delapan kasus.
Ironi Kota Santri
Kendati berstatus sebagai Kota Santri, sayangnya angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Jombang setiap tahun masih terus mengalami peningkatan.
Kepala UPTD PPA Kabupaten Jombang, M Musyafik, membenarkan adanya tren lonjakan kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Jombang.
“Benar, terjadi peningkatan dari 2023 yang memiliki 133 kasus ke 2024 yang memiliki 222 kasus. Tahun 2024 bisa jadi masih bertambah, karena data kami masih sampai bulan November,” ujar Musyafik, Selasa (24/12/2024).
Musyafik merinci sebanyak 33 kasus di antaranya adalah persetubuhan, yang menjadi kasus tertinggi, yang terjadi baik kepada perempuan maupun anak.
“Kasus anak paling tinggi yaitu pengeroyokan sebanyak 32 kasus, dan persetubuhan sebanyak 22 kasus, dan 82 kasus kekerasan terjadi pada perempuan. Angka paling tinggi yaitu KDRT sebanyak 30 kasus dan penelantaran sebanyak 22 kasus,” pungkasnya.