Metaranews.co, Kabupaten Jombang – Puluhan karya kaligrafi terpajang rapi di Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari (MINHA) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025.
Pameran ini bukan sekadar ajang menampilkan karya seni, tetapi juga menjadi media edukasi publik untuk mengenalkan kekayaan khazanah kaligrafi Islam kepada masyarakat luas.
Pengasuh utama Pondok Pesantren Kaligrafi (SAKAL), Ustadz Atho’illah, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan membuka akses masyarakat terhadap kaligrafi sebagai bentuk kesenian Islam yang inklusif.
“Selama ini kaligrafi sering dianggap hanya milik kalangan tertentu. Melalui pameran ini, kami ingin menunjukkan bahwa kaligrafi adalah seni rupa Islami yang bisa dipelajari dan dinikmati siapa pun,” ujarnya, Rabu (22/10/2025).
Ia menambahkan, Islam memiliki ragam ekspresi kebudayaan. Selain seni suara seperti musik atau qasidah, terdapat pula seni rupa seperti kaligrafi.
“Ketika seni lukis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, kaligrafi menjadi ruang berekspresi yang lebih diterima,” imbuhnya.
Seleksi Ketat
Dalam mencetak kaligrafer handal, Pondok SAKAL hanya menyeleksi sepuluh santri setiap angkatan, agar proses pembelajaran berjalan intensif dan mendalam.
“Kami ingin kualitas yang dihasilkan tinggi. Karena itu jumlah santri dibatasi,” jelas Ustadz Atho’illah.
Meski jumlahnya terbatas, SAKAL kini memiliki sembilan cabang di berbagai daerah, bahkan hingga luar negeri. Beberapa muridnya berasal dari Somalia, Selandia Baru, Malaysia, Irak, dan negara-negara Arab.
“Animo masyarakat untuk belajar khath atau seni tulisan Arab sangat besar. Bahkan Indonesia kini menempati peringkat ketiga dunia dalam bidang khath,” tambahnya.
Sejak berdiri tahun 2012, lebih dari 360 santri telah menerima ijazah. Dalam pameran kali ini, dipamerkan lebih dari 50 karya kaligrafi terbaik karya para santri.
Ragam Khath yang Dipamerkan
Pengunjung dapat menikmati berbagai jenis khath seperti Maghribi, Kufi, Diwani, Naskh, hingga Tsuluts (Julus).
Menurut Ustadz Atho’illah, Khath Maghribi merupakan salah satu bentuk tertua yang berakar dari Khath Hijazi, tulisan Arab yang digunakan sebelum masa Rasulullah SAW.
“Setelah Islam menyebar ke wilayah barat seperti Maroko dan Mauritania, tulisan itu berkembang menjadi Khath Maghribi. Sedangkan Kufi muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib,” paparnya.
Tulisan yang digunakan biasanya bersumber dari ayat Al-Qur’an, hadis, hingga maqolah. Khath Diwani Jali, misalnya, dulu digunakan untuk menulis surat resmi para sultan Turki Utsmani.
Salah satu peserta pameran, Masrur Musyafa Wahyudin, menampilkan dua karya bertema Khath Diwani.
“Saya memilih Diwani karena gaya tulisnya elegan dan punya nilai estetika tinggi. Karya pertama berisi Hadits Arbain Nawawi nomor 6 tentang halal dan haram, sedangkan karya kedua menulis Surat Ar-Rahman ayat 46–53,” ungkapnya.
Karya pertama Masrur tersebut bahkan mengantarkannya meraih juara pertama lomba kaligrafi tingkat Jawa Timur di Malang.
Dalam proses berkarya, para santri menggunakan kertas daur ulang (Muwohar) yang dilapisi tawas, putih telur, dan tepung maizena agar lebih kuat.
Sementara alat tulis dibuat dari bahan alami seperti bambu, handang, atau lidi aren yang diraut sesuai kebutuhan.
Menurut Masrur, tantangan utama dalam seni kaligrafi bukan hanya teknik, tetapi juga menjaga konsistensi dan istiqamah dalam berlatih.
Beberapa karya dalam pameran ini juga memiliki nilai jual tinggi.
“Kalau ada yang ingin membeli karya untuk koleksi, tentu diperbolehkan. Harganya tergantung kesepakatan dengan pembuatnya,” terang Ustadz Atho’illah.
Rekor tertinggi, satu karya Khath Diwani pernah terjual hingga Rp100 juta, menunjukkan apresiasi publik terhadap seni kaligrafi semakin meningkat.
Dengan semangat edukatif dan artistik, pameran kaligrafi SAKAL menjadi bukti bahwa seni Islam dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, sekaligus mempertegas pesan Hari Santri Nasional.
Santri tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mengembangkan peradaban.