Pro Kontra HAKI untuk Sound Horeg, Berikut Pandangan Sosiolog dan Budayawan Kediri

HAKI Sound Horeg
Caption: Sound horeg kini hendak di-HAKI-kan. Doc: M Nasrul/Metaranews.co

Metaranews.co, Kediri – Usulan pemberian Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kanwil Kemenkumham Jatim kepada komunitas pelaku sound horeg menuai beragam reaksi masyarakat di Jawa Timur, baik yang pro dan kontra.

Keberadaan sound horeg sendiri menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, kehadirannya memeriahkan berbagai acara seperti hiburan lokal, menumbuhkan industri kreatif, dan bagi sebagian orang dianggap sebagai bagian dari tradisi.

Akan tetapi, di sisi lain kebisingan ekstrem yang dihasilkan berpotensi mengganggu ketenangan dan kesehatan masyarakat, bahkan menimbulkan kerusakan fisik akibat gelombang suara yang begitu kerasnya.

Menanggapi wacana pemberian HAKI ini, paguyuban Asosiasi Seduluran Sound Balap Kediri (SSBK) menyambutnya dengan antusias.

“Ya jelas kami dari sebagai pelaku sound yang tergabung dalam SSBK menyambut baik kabar itu,” kata Owner Brengos Pro Audio sekaligus Ketua Asosiasi SSBK, Jumat (25/4/2025).

Sementara sejumlah budayawan melihat sound horeg sebagai bagian dari budaya populer lokal, yang mencerminkan kreativitas masyarakat dalam merayakan kegembiraan.

Fenomena ini dianggap sebagai hiburan rakyat yang inklusif dan merakyat, serta wujud semangat gotong royong.

Budayawan Kediri, Achmad Zainal Faris, berpendapat bahwa sound horeg berpotensi menjadi bagian unik dari budaya Jawa Timur.

Namun, pria yang tercatat sebagai pengajar di MAN 2 Kota Kediri ini menekankan perlunya pengelolaan, dan penekanan yang bijak untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan sisi positifnya.

“Hal ini membutuhkan kolaborasi antara komunitas, panitia, dan pemerintah untuk memastikan bahwa sound horeg tetap menjadi hiburan yang menyenangkan, tanpa mengganggu ketenangan dan keselamatan masyarakat,” ujar Zainal.

Meski demikian, Zainal juga menyampaikan kekhawatiran bahwa dominasi sound horeg dapat mengurangi ruang ekspresi bagi seniman tradisional.

“Misalnya, ketimbang menyewa kelompok kesenian tradisional, tuan rumah lebih memilih sound system karena dianggap lebih praktis dan kekinian,” terangnya.

Adapun dari sudut pandang sosiolog, keberadaan sound horeg saat ini dinilai sebagai bentuk ekspresi identitas budaya lokal.

Sosiolog IAIN Kediri, Ika Silviana menuturkan, tradisi sound horeg saat ini menjadi cara bagi masyarakat untuk menunjukkan kebersamaan, kemeriahan, dan eksistensi mereka dalam ruang sosial.

“Dalam konteks ini, sound horeg bisa dianggap sebagai simbol status sosial dan eksistensi komunitas tertentu. Jadi ya menurut pandangan saya, tidak ada permasalahan dalam pemberian HAKI kepada pelaku sound horeg,” papar dosen prodi Sosiologi Agama ini.

Selanjutnya, Ika menyebutkan bahwa tradisi ini juga mempererat solidaritas dan kohesi sosial antarwarga. Gotong royong dalam persiapan acara dan interaksi selama acara berlangsung memperkuat rasa memiliki dalam komunitas.

Pos terkait