Yuwono Wahyu Alam: Penjaga Rempah Indonesia dari Kediri, Beraksi Nyata Sejak 1995

Yuwono Wahyu Alam
Caption: Aksi Wahyu Alam (kaus hijau) dalam kegiatan konservasi alam. Doc: Pribadi Wahyu

Metaranews.co, Kota Kediri – Meski namanya belum sepopuler tokoh nasional dalam bidang herbal, Yuwono Wahyu Alam telah memberikan kontribusi besar dalam pelestarian tanaman obat dan rempah asli Indonesia sejak tahun 1995.

Kiprah Wahyu berpusat pada konservasi alam, khususnya di wilayah Gunung Kelud dan Gunung Wilis area Kediri.

Berawal dari kecintaannya pada alam, pemilik Taman Toga Wahyu Alam di Kelurahan Banaran, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, ini rutin menjelajah hutan dan mendaki gunung bersama komunitas Putra Alam.

Dari sana, ia menyadari kekayaan flora Indonesia dan mulai membawa pulang tanaman liar untuk ditanam serta dipelajari di rumahnya.

“Saya tidak tahu nama tanaman itu awalnya. Sambil menanam, saya belajar dari buku, sesepuh, dan pengalaman langsung,” ujar Wahyu saat ditemui METARA di Taman Toga Wahyu Alam miliknya, Senin (21/6/2025).

Belajar Ilmu Herbal

Ilmu herbal Wahyu tidak didapat secara instan. Ia mempelajarinya dari berbagai sumber, termasuk kitab kuno seperti Kitab Jampi Jawi (cetakan Tan Kun Swi tahun 1922).

Lalu belajar dari catatan tangan warisan keluarga pengobat, buku-buku karya Prof Hembing, hingga berdiskusi dengan dukun pijat tradisional di desa.

“Saya belajar dari mbah-mbah terapis tradisional, dari orang Tionghoa yang punya resep turun-temurun, dan dari budaya yang sebenarnya hidup di masyarakat tapi mulai dilupakan,” ujarnya.

Sejak tahun 2000, Wahyu menyadari bahwa kelestarian rempah dan tanaman herbal Indonesia sangat bergantung pada terjaganya ekosistem alam.

Oleh karena itu, ia dan komunitasnya berkomitmen kuat pada pelestarian alam, sebagai bentuk timbal balik atas apa yang telah alam berikan kepada manusia.

“Secara umum pelestarian rempah Indonesia harus ada sentuhan dari kita. Bentuknya kita mengambil dari alam, kita harus memberikan ke alam lagi. Kita sambil naik gunung mengambil tanaman obat, kita juga menanam tanaman yang secara umum berefek menguatkan ekosistem,” terangnya.

Di antara tanaman yang ditanam Wahyu dan kolega yakni tanaman jenis batang keras yang berfungsi mencegah longsor, melestarikan mata air, dan mengurangi risiko bencana alam lainnya.

Upaya ini secara umum berdampak positif pada pelestarian rempah Indonesia dan tanaman toga.

“Jadi tanaman obat itu ada empat jenis. Ada jenis tanaman perdu, jenis rumput-rumputan, jenis tanaman merambat, dan jenis tanaman batang keras seperti klowak, kemiri, kedawung atau jenis tanaman lain, yang perlu disentuh agar tidak punah lagi yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat untuk masak dan jamu,” tuturnya.

Wahyu fokus pada kegiatan pelestarian alam dengan menyumbangkan bibit tanaman obat secara gratis ke sekolah, komunitas, dan warga sekitar.

Bibit-bibit seperti kemiri, jati Belanda, kedawung, hingga tanaman ficus untuk penahan longsor, disiapkan sendiri.

Bersama komunitasnya, Wahyu mengelola kawasan konservasi di lereng Gunung Kelud dan area yang diberikan Perhutani, dengan total lebih dari 50 hektare.

Di kawasan yang dikenal dengan Wisata Bambingan Gunung Kelud ini, mereka rutin menanam 250 jenis tanaman obat serta aneka tanaman ficus atau beringin, mencapai sekitar 1.500 pohon per tahun.

“Sejak 2019 kita menanam setahun dua kali sebanyak 1.500 pohon ficus, untuk mencegah bencana letusan Kelud yang berfunsi mencegah aliran awan panas atau wedus gembel,” jelasnya.

“Saat ini kami sedang menyiapkan 4.000 pohon asam untuk ditanam di wilayah eks Keresidenan Kediri, untuk revitasisai ekosistem perkotaan yang memprehatinkan. Asam itu kaya vitamin C dan perlu dilestarikan,” lanjutnya.

Selain di Gunung Kelud, Wahyu juga aktif melakukan penanaman di Gunung Wilis, khususnya di Kawasan Air Terjun Irenggolo yang ada Kecamatan Mojo dan Semen, dengan melibatkan masyarakat sekitar.

“Di kawasan Lereng Wilis itu ada sekitar tujuh hektare yang kita lagi proses tanami pohon rempah berjenis tanaman batang keras di bantaran jalan yang rawan longsor. Setiap ada kegiatan komunitas atau Pramuka naik, kita bawai 100 bibit untuk ditanam, ini berlangsung sekitar 3-4 tahun terakhir,” bebernya.

Edukasi dan Penghargaan

Tidak hanya di lapangan, Wahyu juga aktif menyebarkan pengetahuannya melalui media.

Ia mengisi program Toga (Tanaman Obat Keluarga) berbahasa Jawa di televisi lokal Kediri selama 15 tahun tanpa henti. Program ini bahkan meraih Juara 1 KPID Jawa Timur 2023 sebagai siaran berbahasa daerah terbaik.

Wahyu juga pernah meraih Juara 1 karya tulis Jawa Timur Dinas PUPR untuk lingkungan hidup, dan pada tahun 2019 mendapat anugerah Cundamani sebagai warga terbaik Kota Kediri.

“Tanaman obat itu bahasa rakyat. Kalau disampaikan dalam bahasa Jawa, masyarakat lebih mudah menerima,” sebutnya.

Wahyu menyadari ancaman pemanasan global yang akan dihadapi Indonesia pada 2050.

Baginya, menanam dan menjaga hutan bukan hanya untuk pengobatan, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup.

“Kita harus bertindak sekarang. Kalau tidak, apa yang kita lakukan akan percuma. Anak cucu kita akan menyalahkan generasi ini sebagai perusak bumi,” tuturnya.

Saat ini, Wahyu juga tengah menyelesaikan pendidikan formal di Poltekkes Negeri Solo jurusan Jamu, demi memperkuat ilmunya secara akademik.

Dengan segala upaya nyata yang ia lakukan selama hampir tiga dekade, Wahyu membuktikan bahwa menjaga warisan tanaman obat bukan hanya tentang tradisi, tetapi juga tentang masa depan.

“Negara kita kaya rempah-rempah. Mari kita manfaatkan dan lestarikan kekayaan ini, demi bumi yang lebih sehat dan generasi yang lebih kuat,” pesan Wahyu.

Pos terkait