Paradoks Demokrasi di Indonesia, dan Ironi Kebebasan Berpendapat

Paradoks demokrasi
Ilustrasi demonstrasi. (Unplash)

Metaranews.co, Hiburan – Paradoks demokrasi, sebuah fenomena dimana demokrasi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sosial.

Di era modern ini, siapa yang bisa mencegah berkembangnya kebebasan berekspresi. Itu juga dilindungi undang-undang.

Melansir Hukumonline, berpendapat adalah hak yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Selain itu, kebebasan berpendapat ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menyatakan:

Setiap orang bebas mempunyai, menyatakan dan menyebarluaskan pendapat menurut hati nuraninya, secara lisan dan atau tertulis, melalui media cetak dan elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Kebebasan Berpendapat Sebagai Subtansi Kritik

Paradoks demokrasi
Ilustrasi demonstrasi. (Unplash)

Kebebasan berpendapat kini juga termasuk dalam substansi kritik terhadap kebijakan, dalam hal ini kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Pengaruh media sosial yang semakin berkembang juga menjadi persimpangan jalan dalam menyampaikan kritik atau pendapat di depan umum maupun di dunia maya.

Misalnya, BEM Universitas Indonesia (UI) mengkritik keabsahan UU Cipta Kerja dengan menayangkan video animasi tikus di gedung DPR RI dan Puan Maharani selaku ketua DPR.

Belum lagi kasus Bima, pemuda asal Lampung yang saat ini kuliah di Australia, mengkritisi pemerintah di Lampung karena jalan rusak dengan topik kritik ‘Kenapa Lampung tidak maju’.

Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak perlu lagi turun ke jalan untuk berdemonstrasi menyampaikan kritik. Hanya bermodal smartphone dan caption, ditambah sedikit pemanis, satu kritikan akan dilihat oleh ribuan orang di dunia maya.

Kebebasan berpendapat termasuk kritik publik terhadap pemerintah, merupakan pilar penting demokrasi. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat, berpikir, berserikat, dan kritik publik akan menyebabkan demokrasi lumpuh.

Perlu diingat juga, jika demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal ala Barat yang mendewakan kebebasan absolut.

Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan individu untuk berpendapat, berserikat, dan mengkritik publik dibatasi oleh beberapa hal.

Antara lain stabilitas dan keamanan nasional, kepentingan umum yang luas, ideologi nasional dan etika serta aturan moral yang bersifat sosial dan religius atau ketuhanan.

Artinya, kebebasan berekspresi rakyat idealnya dipahami dalam koridor-koridor tersebut. Koridor ketahanan nasional, kepentingan umum, dan ideologi kebangsaanlah yang selama ini terabaikan dalam menyampaikan pendapat atau kritik.

Demokrasi Indonesia saat ini mengarah pada kebebasan absolut atau mutlak yang mendewakan akal dan mengesampingkan hati nurani dan etika.

Akibatnya, praktik politik dan demokrasi Indonesia diwarnai oleh berbagai narasi yang mengarah pada ujaran kebencian, hasutan, provokasi, adu domba, dan hinaan.

Agaknya dalam tujuh tahun terakhir, iklim demokrasi di Indonesia diselimuti politik kebencian yang memecah belah.

Akibatnya, kritik yang idealnya menjadi vitamin dan suplemen penting bagi demokrasi, malah bermutasi menjadi racun yang perlahan membunuh demokrasi dari dalam.

Paradoks Demokrasi di Indonesia

Melansir laman BPIP. Chantal Mouffe menyebutnya sebagai “paradoks demokrasi”, yakni fenomena ketika demokrasi justru menciptakan kebebasan yang mengancam stabilitas sosial dan keamanan nasional.

Di Indonesia sendiri, paradoks demokrasi terwujud dalam bentuk polarisasi masyarakat yang semakin tajam akibat afiliasi politik yang berlebihan dan fanatisme buta terhadap elite politik tertentu.

Paradoks demokrasi merupakan persoalan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Fenomena maraknya kritik berbasis kebencian tidak hanya melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga secara langsung menghadirkan ancaman serius bagi keamanan nasional.

Gawatnya, saat pemerintah bertindak tegas dengan melakukan penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian, tudingan anti kritik terdengar lantang dari beberapa kalangan.

Upaya pemerintah untuk mengatur kebebasan berekspresi agar tidak menimbulkan kebencian, provokasi dan mengadu domba justru dipelintir oleh kelompok tertentu untuk membangun citra buruk bahwa pemerintah alergi terhadap kritik.

Masalah ini belakangan sering mencuat ke permukaan, hingga membuat Presiden Joko Widodo, turun langsung untuk membantah tudingan anti kritik pemerintah dan mengajak masyarakat untuk selalu mengkritisi kebijakan pemerintah.

Di tengah derasnya arus ujaran kebencian atas nama kritik dan juga kebutuhan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, penting bagi kita untuk membangun budaya kritik dan kebebasan berekspresi berdasarkan falsafah demokrasi Pancasila.

Demokrasi pancasila merupakan kesepakatan para pendiri bangsa sebagai jalan tengah antara ideologi liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan individu secara absolut dan ideologi sosialisme-komunisme yang menempatkan kekuasaan negara sebagai kekuasaan tertinggi.

Demokrasi pancasila merupakan jalan tengah yang mengakomodasi kebebasan individu sekaligus memberikan porsi kekuasaan pemerintahan/negara secara proporsional.

Batas Mengutarakan Kebebasan Berpendapat

Dalam menyampaikan pendapat, masyarakat juga harus memahami jalurnya. Memang, kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang.

Namun, dalam undang-undang juga menjelaskan ada batasan dalam menyampai pendapat.

Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Sebagaimana yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda, kebebasan untuk berpendapat adalah hak yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang bebunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Selain itu, kebebasan berpendapat ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menyatakan:

Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia, meskipun merupakan hak dasar yang dilindungi, namun tetap mempunyai batasan, yaitu nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Pembatasan tersebut sesuai dengan amanat pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sehingga, kebebasan berpendapat setiap orang dibatasi oleh ketentuan hukum dalam undang-undang untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *