Pemilu 2024 Rawan Hoaks dan Hate Speech yang Dianggap Free Speech

Jelang Pemilu 2024
Ilustrasi cyber bullying, hoaks dan hate speech. (Freepik)

Metaranews.co, Hiburan – Jelang Pemilu 2024, penyebaran hoaks dan hate speech perlu diwaspadai, terutama di media sosial.

Masa pemilu 2024 memang masih sekitar satu tahun lagi. Meskipun begitu, hegemoninya sudah terasa mulai saat ini. Seperti banyak bermunculan tokoh yang akan mencalonkan diri, munculnya partai-partai koalisi, serta tanggapan netizen di dunia Maya.

Bacaan Lainnya

Elemen ini tidak akan pernah lepas jelang dilaksanakannya Pemilu. Persis, seperti ajang demokrasi tahunan lima tahunan yang terjadi sebelumnya, elemen ini muncul dan bahkan sempat membelah masyarakat kedalam dua kelompok.

Lalu bagiamana mengantisipasi penyebaran hoaks dan hate speech ini jelang dan saat Pemilu 2024 nanti?

Yang pertama harus diketahui ialah membedakan antara hate speech dan free speech. Beberapa orang menganggap hal ini sama, sehingga mereka bebas mengucapkan dan berkomentar apapun terhadap apa yang ia lihat.

Bahayanya, jika komentar yang keluar tanggapan netizen ini baik tidak masalah, namun saat terlalu sarkas, dampaknya akan menjalar kemana-mana. Hal inilah yang perlu diantisipasi, bahkan dicegah.

Melansir Amnesty.id, kebebasan berbicara (free speech) adalah ekspresi lisan, tercetak atau melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, seni dan politik.

Ini adalah bagian dari hak atas kebebasan berekspresi, yaitu hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran dalam bentuk apapun, dengan cara apapun.

Sementara itu, ujaran kebencian adalah ujaran atau tulisan yang menyinggung atau ancaman yang menyatakan prasangka buruk terhadap kelompok tertentu, terutama atas dasar ras, agama, atau orientasi seksual.

Meskipun hukum internasional melindungi kebebasan berekspresi, ada situasi ketika ucapan dapat dibatasi secara hukum di depan hukum, seperti jika ucapan atau ekspresi:

Melanggar hak orang lain. Mendukung kebencian, dan memicu diskriminasi atau kekerasan, termasuk pelecehan verbal.

Sementara itu, melansir Liputan 6, Menurut pengamat media sosial, Hariqo Wibawa Satria mengatakan, Maraknya hoaks dan ujaran kebencian di media sosial jelang Pemilu terlihat dari sebelumnya.

Hal itu disebabkan oleh tujuan menyerang lawan politik guna meningkatkan elektabilitas orang yang didukung, kemudian menurunkan kredibilitas lawan politik, dan terakhir menurunkan kepercayaan penyelenggara pemilu.

Menjelang pemilu, terkadang hoaks yang dilakukan oleh suatu partai diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pendukungnya, seperti pemuliaan yang berlebihan terhadap kandidat potensial.

Di sisi lain, ada juga yang difitnah secara tidak karuan namun memperbanyak topik pembicaraan terkait caleg di masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk mengenali berbagai pola postingan hoax dan ujaran kebencian di media sosial.

Hariqo mengatakan saat ini cara terbaik untuk mengenali postingan hoax dan ujaran kebencian adalah dengan membedah konten hoax satu per satu atau mempelajarinya kasus per kasus.

“Ya, membedah konten hoax. Misalnya ada berita hoax, kita pelajari bersama, fokusnya hanya satu berita yang akan dipelajari. Pertama dari pola judulnya, lalu siapa penulisnya, kapan. Itu tertulis, sumber yang digunakan, linknya ke mana, lihat juga website dan referensinya. Jadi dari situ kita kenali polanya. Jadi ya dipelajari case by case,” ujar Hariqo.

Melansir sumber lain yakni VOI, Peneliti Jaringan Masyarakat Demokrasi Indonesia (Netfid) Aida Mardatillah mengatakan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian semakin meningkat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Pesta demokrasi lima tahun semakin intens,” kata Aida dalam webinar yang disiarkan di YouTube BB EXPO Channel.

Ia mengatakan, konten yang marak muncul jelang pilkada adalah cyber bullying berupa hoaks dalam kategori satir.

“Dengan menggunakan konten politik yang cenderung berisi konten menyerang tokoh politik atau saling serang antar pendukung partai politik,” ujarnya.

Aida mengambil contoh dari proses menjelang Pemilu sebelumnya, di mana banyak bermunculan hoaks yang ditujukan kepada kelompok tertentu yang mengikuti kontes politik.

“Kominfo juga menemukan lebih dari seribu informasi hoaks di media sosial dengan konten kampanye hitam jelang Pemilu 2019, artinya dalam proses, bukan kontestasi dalam pelaksanaannya,” ujarnya.

Ia membeberkan, beberapa konten hoaks yang mendapat sorotan tinggi dari masyarakat pada Pemilu 2019, antara lain kasus hoaks penganiayaan Ratna Sarumpaet, surat suara kosong atau kontainer yang telah dicoblos, e-KTP palsu dari China, hingga sejumlah tudingan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Meski pelaku kerap kabur, Aida menyebut sejumlah regulasi sebenarnya telah memayungi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, seperti Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, hingga Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Dirinya juga merekomendasikan agar KPU atau Bawaslu membuat aturan dan surat edaran internal untuk menangkal maraknya peredaran hoaks dan ujaran kebencian dalam proses menuju Pemilu 2024.

“Karena kalau melihat UU Pilkada Nomor 7 Tahun 2017 maka UU Pilkada memang tidak secara khusus mengatur hoaks dan ujaran kebencian, namun jika ada oknum yang melakukan hal tersebut bisa dikenakan aturan umum selain UU Pilkada dan UU Pilkada,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *