Aliansi Inklusi Desak Penonaktifan Kades Jombang Terduga Pelaku Kekerasan Seksual

Jombang
Ilustrasi pelecehan seksual (Freepik)

Metaranews.co, Kabupaten Jombang – Penanganan kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan seorang kepala desa di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menuai sorotan dari berbagai pihak.

Aliansi Inklusi Jombang menyatakan keprihatinan mendalam, dan menilai proses hukum yang berjalan justru melemahkan semangat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Bacaan Lainnya

Aliansi Inklusi menyebut keluarga korban menghadapi tekanan sosial, laporan balik, hingga kriminalisasi terhadap suami korban.

Meski penangguhan penahanan terhadap suami korban telah dikabulkan, kondisi itu dinilai memperlihatkan kompleksitas perjuangan korban dalam mencari keadilan dan rasa aman.

Kasus ini bermula dari laporan dugaan kekerasan seksual yang disampaikan pada awal Agustus 2025. Proses hukum kemudian berlanjut hingga penetapan tersangka terhadap Kepala Desa berinisial “J” pada 2 Oktober 2025.

Namun setelah penetapan tersebut, pihak tersangka masih berupaya mendatangi keluarga korban dan mendorong penyelesaian secara kekeluargaan.

“Tindakan semacam ini berpotensi menimbulkan tekanan psikologis dan menghambat pemulihan korban,” tegas pendamping korban dari Aliansi Inklusi, Ubaidillah, Senin (13/10/2025).

Padahal, Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS secara tegas melarang penyelesaian perkara kekerasan seksual di luar jalur peradilan, kecuali jika pelaku merupakan anak.

Aliansi menilai upaya “damai” semacam itu mencederai semangat keadilan, serta melanggar etika jabatan publik yang seharusnya dijunjung oleh kepala desa.

Selain aspek pidana, Aliansi Inklusi juga menekankan bahwa perilaku tersangka telah melanggar kode etik, dan mencederai martabat jabatan publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Karena itu, mereka mendesak Bupati Jombang, Inspektorat, Camat, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) untuk segera menonaktifkan sementara Kepala Desa tersebut selama proses hukum berlangsung.

“Penonaktifan ini penting untuk menjaga integritas lembaga desa serta mencegah konflik sosial di masyarakat,” jelasnya.

Selain itu, Aliansi bersama kuasa hukum korban juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera menahan tersangka guna menjamin rasa aman bagi korban dan keluarganya serta mencegah potensi intimidasi.

Mereka juga meminta lembaga negara seperti Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman melakukan pemantauan independen agar proses hukum berjalan transparan dan berkeadilan.

“Negara tidak boleh membiarkan pelaku kekerasan seksual, terlebih pejabat publik, menggunakan posisinya untuk menekan korban atau memengaruhi proses hukum,” tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, seorang warga berinisial S (25) mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh salah satu Kepala Desa di Jombang, berinisial J.

Peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu (2/8/2025) sekitar pukul 11.00 WIB di balai desa setempat.

Menurut pengakuan korban, saat itu ia datang ke balai desa untuk mengurus surat izin kerja atas nama adik iparnya yang sedang berada di luar kota. Saat berada di kantor desa, korban bertemu langsung dengan J.

“J sebelumnya menyampaikan kalau hari itu libur kerja, tapi dia menawarkan untuk membuatkan surat izin tersebut,” ujar S, Rabu (6/8/2025).

Korban kemudian menunggu proses pembuatan surat di ruang pelayanan hingga waktu salat zuhur. Setelah warga lain yang juga dilayani pergi, tinggal S dan J di ruangan tersebut. Di saat itulah, korban mengaku mulai mendapatkan perlakuan tidak pantas.

“J tiba-tiba merangkul pundak kanan dan memijat bahu saya sambil berkata ‘penak rek lek duwe bojo sepantaran, penak rangkulane’, (enak kalau punya suami sepadan, enak rangkulannya),” ungkap S.

Pos terkait