Oleh: Bambang Herry Purnomo (Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UNEJ, dan Anggota TP3D Kabupaten Jember)
Hujan deras dengan intensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Jember sejak Senin sore hingga malam, 15 Desember 2025 lalu, kembali memicu banjir di berbagai wilayah.
Hujan yang turun selama berjam-jam tanpa jeda di sejumlah wilayah membuat debit sungai Bedadung dan Kali Jompo meningkat cepat dan meluap ke permukiman warga. Banjir kali ini tidak hanya dipicu oleh hujan lokal, tetapi juga oleh akumulasi aliran dari wilayah hulu DAS yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan tutupan lahan cukup signifikan.
Akibatnya, sejumlah sungai utama di Jember tak lagi mampu menampung limpasan air. Kondisi ini diperparah oleh drainase perkotaan yang terbatas, sedimentasi sungai, serta menyempitnya ruang alir akibat aktivitas manusia di sepanjang bantaran sungai.
Banjir dilaporkan terjadi di sekitar 20 titik yang tersebar di sejumlah kecamatan, terutama di kawasan permukiman padat dan wilayah dataran rendah. Daerah terdampak antara lain adalah Kecamatan Patrang, Kaliwates, Sumbersari, Pakusari, Kalisat, dan Rambipuji. Beberapa permukiman warga yang terimbas banjir di antaranya, perumahan Villa Tegal Besar Indah Kelurahan Tegal Besar, permukiman di Jalan Ciliwung Kelurahan Jember Lor dan permukiman warga di JL Slamet Riyadi Kelurahan Patrang, serta permukiman warga di bantaran Sungai Bedadung di Jalan Sumatera, Kelurahan Sumbersari. Selain merendam rumah warga, banjir juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi, termasuk terputusnya akses transportasi akibat jembatan yang rusak atau terendam. Wilayah yang dilaporkan paling parah terdampak berada di Kecamatan Rambipuji, khususnya di Desa Nogosari, dengan jumlah kepala keluarga terdampak paling besar dibandingkan wilayah lain.
Jika dicermati secara seksama secara spasial, banjir ini menunjukkan pola yang cukup jelas mengikuti koridor Daerah Aliran Sungai (DAS), terutama DAS Kali Bedadung yang melintasi kawasan perkotaan Jember. Luapan juga terjadi pada sejumlah anak sungai seperti Kali Jompo, Kali Mayang, Kali Rembangan, dan Kali Dinoyo. Pola ini menunjukkan bahwa banjir tidak bisa lagi dilihat sebagai kejadian lokal semata, melainkan bagian dari persoalan DAS yang saling terhubung dari hulu hingga hilir yang selama ini dikelola secara terpisah-pisah.
Banjir di Jember pada dasarnya adalah masalah struktural, bukan semata-mata akibat hujan lebat. Memang benar, hujan dengan intensitas tinggi kini semakin sering terjadi, sejalan dengan perubahan iklim yang memicu cuaca ekstrem. Namun, pada wilayah dengan sistem hidrologi yang sehat, hujan semacam ini seharusnya masih dapat dikelola dan tidak menimbulkan banjir yang berarti. Fakta bahwa hujan dengan karakteristik yang relatif sama kini kerap berujung pada banjir yang serius menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan di Jember telah menurun. Dalam konteks ini, hujan ekstrem lebih tepat dipandang sebagai pemicu, sementara akar masalahnya bermula dari kebijakan tata ruang dan pengelolaan DAS yang kurang berkelanjutan.
Kerentanan tersebut tampak nyata dari menurunnya fungsi hidrologis DAS Kali Bedadung, Kali Jjompo, dan anak-anak sungainya. Alih fungsi lahan di wilayah hulu dan tengah, baik menjadi lahan terbuka, kebun, infrastruktur, maupun kawasan permukiman, meningkatkan limpasan air permukaan, erosi, dan sedimentasi. Akibatnya, badan sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan, sehingga kapasitas tampung air terus berkurang. Dalam kondisi seperti ini, tanpa hujan ekstrem sekalipun, sistem DAS Jember sebenarnya sudah berada pada titik rapuh. Ketika hujan lebat terjadi, maka akan berpotensi besar menimbulkan banjir. Penanganan banjir yang bersifat parsial dan sektoral justru berisiko memindahkan masalah ke wilayah lain, terutama ke daerah hilir.
Kejadian banjir ini juga memperlihatkan dimensi tata ruang yang problematik. Saat melakukan inspeksi lapangan, Bupati Jember bersama jajaran Pemkab menemukan bahwa beberapa kawasan permukiman berdiri sangat dekat bahkan sebagian berada di bantaran sungai. Di lokasi tersebut, ketinggian air mencapai 1,2 meter dan memaksa sebagian warga mengungsi. Situasi tersebut menunjukkan bahwa ketika banjir terjadi, dampaknya tidak berhenti pada kerusakan fisik, tetapi langsung dirasakan oleh warga dan pemerintah daerah dalam bentuk gangguan ekonomi, kebutuhan evakuasi, serta beban penanganan darurat.
Padahal secara regulatif, kawasan DAS, terutama sempadan sungai, merupakan wilayah lindung yang seharusnya dijaga dari pembangunan permanen. Ketentuan ini dibuat untuk mempertahankan fungsi sungai sebagai ruang aliran air, kawasan resapan, dan pengendali banjir alami. Ketika prinsip kehati-hatian ini diabaikan, baik melalui pelonggaran izin maupun penafsiran aturan yang terlalu permisif, maka risiko banjir tidak hanya meningkat, tetapi juga menumpuk dari waktu ke waktu dan akhirnya ditanggung oleh masyarakat luas.
Jika pembangunan permukiman oleh pengembang masih terus terjadi di kawasan yang berdekatan dengan DAS, situasi ini patut menjadi perhatian serius. Secara prinsip, pengembang seharusnya memahami pembatasan tersebut dan memiliki AMDAL sebagai instrumen pencegahan risiko lingkungan. Namun dalam praktiknya, AMDAL sering kali diperlakukan sekadar sebagai dokumen administratif untuk memenuhi syarat perizinan. Analisis daya dukung, risiko banjir, dan perubahan hidrologi kerap disusun normatif berdasarkan asumsi semata, serta jarang diuji apabila terjadi skenario ekstrem. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan pasca-izin, kurangnya integrasi dengan rencana tata ruang, serta koordinasi antarinstansi yang belum berjalan efektif dalam pengelolaan DAS.
Ke depan, banjir ini semestinya menjadi momentum bagi Pemkab Jember untuk bersikap lebih tegas dan korektif. Evaluasi menyeluruh terhadap pembangunan permukiman, baik yang baru direncanakan maupun yang sudah terlanjur berdiri di sempadan sungai, perlu segera dilakukan. Penertiban, pembatasan, hingga pemberian sanksi terhadap pengembang yang melanggar aturan harus dijalankan secara konsisten. Pemkab Jember harus mempunyai keberanian untuk melakukan hal ini walaupun akan banyak dinilai sebagai kebijakan yang tidak popular. Di saat yang sama, normalisasi sungai perlu dilakukan secara terencana dan berbasis ekologis, bukan sekadar pengerukan darurat, dengan tujuan mengembalikan fungsi sungai sesuai daya dukung alaminya. Tanpa pembenahan tata ruang, penegakan hukum yang konsisten, pemulihan DAS dari hulu hingga hilir, serta koordinasi kelembagaan yang kuat, banjir di Jember akan terus berulang dan selalu datang sebagai kejutan yang sebenarnya sudah bisa diprediksi.
Semoga kita semua, masyarakat dan Pemkab Jember dapat belajar dari kejadian banjir ini!
*Tulisan ini adalah opini, bukan produk jurnalistik. Seluruh isi dalam tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis dan tidak menjadi tanggungjawab redaksi






