Mahkamah Konstitusi Tolak Legalisasi Ganja sebagai Tanaman Medis

Metaranews.co – Sidang Mahkamah Konstitusi tentang agenda putusan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 soal Judicial Review (Uji Materi) UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menolak permohonan pemohon.

Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan pemohon terkait legalisasi ganja untuk kesehatan.

Bacaan Lainnya

Para pemohon tersebut adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti yang merupakan orang tua dari anak-anak yang mengidap penyakit Cerebral Palsy.

Pembacaan putusan tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, Rabu (20/7/2022) didampingi 8 hakim konstitusi lainnya.

“Konklusi, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan, satu: Mahkamah berwenang mengadili permohonan para pemohon. Dua, Pemohon 1, pemohon 2, pemohon 3 dan pemohon 4, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan aquo. Ketiga, Pemohon 5 dan pemohon 6 tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan aquo. Dan keempat pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Anwar.

“Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan seterusnya, Amar putusan mengadili, satu: menyatakan permohonan pemohon 5 dan pemohon 6 tidak dapat diterima. Kedua, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Anwar.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi mengatakan bahwa dalam penjelasan umum UU nomor 35/2009 juga ditegaskan kalau narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan dipergunakan untuk pengobatan penyakit tertentu.

Namun jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan maka dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi bangsa.

“Terlebih terhadap narkotika jenis tertentu lainnya yang oleh undang-undang benar-benar masih dilarang penggunaannya. Selain apa yang secara tegas diperbolehkan seperti halnya jenis narkotika golongan 1 yang hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, hal tersebut akan sangat merugikan jika pembatasan tersebut justru ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan dapat merusak generasi bangsa bahkan melemahkan ketahanan nasional,” ujar Hakim Konstitusi.

Menurutnya, meskipun pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, setidaknya di beberapa negara seperti Argentina, Australia, Selandia Baru dan Thailand, namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter dan diterapkan oleh semua negara.

Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.

“Dalam perspektif ini untuk negara Indonesia, walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia. Terlebih berkenaan dengan pemanfaatan jenis narkotika golongan 1, termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata Hakim, pemanfaatan narkotika golongan 1 di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya.(E2)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *