Mantan Bupati Probolinggo dan Suaminya Tolak Dakwaan Gratifikasi dan TPPU dari Jaksa, Ini Alasannya

Gus Muhdlor
ilustrasi sidang lanjutan kasus Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo (freepik)

Metaranews.co, News – Mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminudin menolak dakwaan jaksa penuntut umum KPK mengenai dugaan gratifikasi dan tindakan pidana pencucian uang (TPPU).

Tim penasihat hukum keduanya pun memberikan eksepsi dalam sidang lanjutan di pengadilan Tipikor Surabaya.

Bacaan Lainnya

“Kami kuasa hukum terdakwa meminta majelis hakim menolak dakwaan jaksa. Karena terlalu mengada-ngada. Tidak jelas dan mengaburkan fakta sebenarnya,” kata Diaz Wiriardi dilansir dari suara.com.

Lebih lanjut, ia juga meminta majelis hakim untuk membebaskan mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminudin. Pihaknya juga berharap seluruh harta yang disita dikembalikan.

Dalam dakwaan jaksa sebelumnya, keduanya dianggap melanggar pasal 12B tentang Gratifikasi. Serta pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU. Semua gratifikasi yang diterima kedua terdakwa selama 2013 hingga 2021 totalnya mencapai lebih dari Rp100 miliar.

Uang dari hasil gratifikasi dari berbagai pihak seperti pihak swasta hingga ASN Pemkab Probolinggo berupa aset. Seperti tanah, kendaraan hingga perhiasan. Menurutnya, jaksa tidak jelas dalam menguraikan perbuatan gratifikasi yang didakwakan.

“Menurut uraian jaksa, gratifikasi dilakukan melalui perantara orang lain. Ternyata kebanyakan dari penerimaan uang atau barang tersebut kepada lembaga pesantren dan dan ormas NU. Tanpa mengurai lebih lanjut keterkaitan penerimaan uang atau barang oleh pihak lain tersebut dengan para terdakwa,” jelasnya.

Akibat ketidakjelasan dakwaan itu merugikan hak-hak terdakwa dalam melakukan pembelaan dan juga berpotensi menyesatkan hakim di dalam mengambil keputusan.

Selain dianggap tidak jelas dan kabur, para terdakwa dalam eksepsinya juga menyatakan bahwa surat dakwaan yang disusun oleh jaksa bersifat “ne bis in idem”. Alias perkara yang diajukan saat ini sama dengan perkara sebelumnya yang telah diputus oleh hakim.

Vonis pada perkara pertama bahkan telah berkekuatan hukum tetap.

“Ne bis in idem merupakan asas hukum yang mengandung pengertian bahwa, seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim,” katanya.

Ia menjelaskan, saat ini kedua terdakwa sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI nomor: 30 K/Pid.Sus/2023, pada 31 Januari 2023. Bahkan telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan putusan pengadilan tersebut, keduanya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU Tipikor.

“Dengan adanya frasa suap tersebut, maka pada prinsipnya penerimaan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 B UU Tipikor tersebut adalah sama dengan penerimaan suap,” tegasnya.

Menurut prinsip dan karakteristiknya, perbuatan penerimaan gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 12 B UU Tipikor adalah sama atau serupa dengan perbuatan penerimaan suap. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b UU UU Tipikor.

“Maka perkara pidana yang saat ini didakwakan pada kedua terdakwa masuk kategori ne bis in idem. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU HAM, tidak dapat lagi dilakukan penuntutan,” tegasnya.

Dalam perkara pertama, keduanya divonis 4 tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 UU nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana diubah dengan UU nomor 20/2001.

Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021.

Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan Doddy Kurniawan dan Camat Paiton Muhamad Ridwan.

Pos terkait