Metaranews.co, Kediri – Jembatan Semampir yang ada di Kelurahan Semampir Kota Kediri menyimpan segudang ingatan kelam. Dahulu kawasan sekitar jembatan banyak dikenal orang sebagai lokalisasi terbesar kedua di Jawa Timur setelah Doli di Surabaya.
Sejarahwan Kediri, Sigit Widyatmoko mengatakan sebelum menjadi sebuah kompleks lokalisasi tempat tersebut dahulu merupakan sebuah makam orang-orang Tionghoa semasa penjajahan Belanda.
“Lokasinya dahulu tepatnya berada di belakang gedung DPRD Kota Kediri hingga sekitar Jembatan Semampir ke utara sedikit,” jelas Sigit.
Menurut Sigit, adanya kompleks pemakam orang-orang Tionghoa itu tak lantas tiba-tiba menjadi lokalisasi. Namun hal itu dipicu adanya para buruh migran yang datang ke Kediri untuk bekerja di Pabrik Gula.
Pada masa sebelum kemerdekaan tepatnya sekitar tahun 1900-an keatas, Kediri banyak didatangi buruh migran dari Eropa dan dari berbagai daerah di Indonesia.
Banyaknya buruh migran ini lambat laun menciptakan dampak sosial yang cukup besar, salah satunya adalah munculnya tempat-tempat prostitusi, beberapa diantaranya di Semampir, Kuburan Bok Ijo dan Kelurahan Pojok, tempat tersebut digunakan oleh para buruh migran baik dari Eropa maupun pekerja lokal dari luar Kediri untuk tempat menyalurkan hasrat seksual.
“Perkiraan mungkin pada tahun 1905, mulanya mungkin tidak banyak seperti saat menjadi tempat lokalisasi resmi, namun lambat laun tempat itu menjadi jujugan para buruh pabrik yang memang jauh dari rumah jauh dari istri,” katanya.
Para pekerja imigran sebagian besar tinggal di Kelurahan Mrican dan Pesantren. Dua kelurahan itu menjadi rumah bagi mereka lantaran memiliki pabrik gula besar dan lahan perkebunan yang luas.
Sigit menjelaskan pertumbuhan lokalisasi itu tak lantas tiba-tiba besar. Praktik mereka diawali dari warung kopi remang-remang. Kemudian terjadi transaksi seksual dan menjelma menjadi lokalisasi. Keberadaan para pelacur itu cukup sporadis meski terkonsentrasi di area kuburan Cina.
“Sampai akhirnya tempat itu dikenal dari mulut ke mulut, dan muncul komunitas wanita yang menetap di daerah bong (Makam Tionghoa),” katanya.
Praktik itu terus berlanjut dari tahun ke tahun, bahkan hingga masa kemerdekaan. Tahun 1969 Pemerintah Kota Kediri yang dipimpin Walikota Anwar Zainudin mendirikan sebuah kompleks lokalisasi untuk mengorganisir para pramuria yang kemudian pada akhir 2016 di tutup oleh Pemerintah Kota Kediri.
Wajah Semampir Sebelum Masa Penjajahan
Sejarahwan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan jauh sebelum menjadi lokalisasi tepatnya pada abad ke 13 atau pada masa transisi Kerajaan Kadiri, tepat di sekitar Jembatan Semampir dahulu berdiri sebuah dermaga besar untuk menurunkan barang-barang dari berbagai daerah.
Disisi timur sungai dahulu banyak berdiri Koplakan atua tempat beristirahatnya para juru mudi baik kapal dan pedati. “Jadi, jauh sebelum itu mungkin bisa dibilang embrio dari lokalisasi ini sudah ada. Tidak bisa dipungkiri bahwa tempat pemberhentian seperti itu kan identik dengan molimo (main, mendem, medok, madat, maling) termasuk di Koplakan tersebut,” ujar Dwi Cahyono.
Kawasan Semampir, menurut Dwi, menjadi pusat perekonomian Kerajaan Kadiri pada saat itu. Mulai dari penginapan, lapangan pertandingan untuk para jawara, tempat bongkar muat, hingga pasar umum berada di daerah itu.
Tak jauh dari Sumampir, tepatnya di Jongbiru, juga terdapat pelabuhan utama yang difungsikan sebagai tempat bersandar kapal barang maupun tumpangan milik Kerajaan Kadiri. Selain itu Jongbiru juga menjadi perempatan jalur air, yakni ke timur, barat, selatan, dan utara.
“Segala infrastruktur tersebut disebut juga disebut dalam beberapa karangan sastra kidung Majapahit dan sastra Panji Semirang, dan Semampir dahulu dikenal dengan sebutan Sumampir,” tuturnya.
Koplakan di daerah Sumampir tidak terpusat di satu titik, namun tersebar di jalur darat dan air. “Koplakan itu ada sisi gelapnya, tempat orang bisa mendapatkan wanita penghibur, termasuk Guyangan di Nganjuk yang dulu juga menjadi tempat pemberhentian pedati dan sebagainya,” kata Dwi Cahyono.
Dia juga mengklaim menemukan bukti konkrit adanya pelacuran di tempat itu. Di beberapa sastra juga menyebut jika dahulu ada jalir (pekerja seks komersial) dan juru jalir yang beroperasi di era kerajaan. Keberadaan mereka ternyata dipantau oleh kerajaan dan diwajibkan membayar pajak.
“Kendati menjadi tempat prostitusi, bukan berarti seluruh orang di kawasan itu melakukan kegiatan yang melanggar norma. Saya meyakini jika jumlah pria hidung belang yang bermain pelacur sangat sedikit, dan sembunyi-sembunyi,” tutupnya.