Metaranews.co, Nusantara – Bulan Ramadan, dalam selimut mengenang wafatnya K.H Hasyim Asy’ari. Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini wafat ada tanggal 7 Ramadan 1366 H, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947.
Sosok pejuang yang kerap kali muncul dalam buku sejarah, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan keberaniannya dalam melawan Jepang dan Agresi Militer jilid II Belanda.
Kyai yang Hobi Menulis
Mbah Hasyim merupakan sosok kyai yang kharismatik. Selain pandai dari segi agama, beliau juga produktif menulis.
Melansir laman Tebuireng, Kiai Hasyim adalah ulama yang produktif menulis. Baginya, ilmu tidak hanya bisa dipahami untuk diri sendiri, tetapi juga harus disebarluaskan untuk kepentingan masyarakat.
Untuk itu, selama mengurus pesantren dan melakukan kegiatan sosial, Kiai Hasyim selalu merangkum ilmunya dalam bentuk tulisan.
Beberapa karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari adalah (1) Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, merupakan kitab yang paling terkenal dan dipelajari hampir di seluruh pondok pesantren di Indonesia, kitab ini memuat uraian tentang tata cara mencari ilmu, proses belajar mengajar moral siswa dan guru serta berbagai aspek yang melingkupinya.
(2) Al-Ziyadah al-Ta’liqa, berisi jawaban Syekh Abdullah bin Yasin asal Pasuruan yang menghina NU, (3) Al-Risalah al Jami’ah, berisi uraian tentang keadaan orang yang meninggal dan tanda-tanda hari kiamat Pertimbangan dan penjelasan tentang sunnah dan bid’ah.
(4) Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mengandung makna cinta kepada Rasulullah dan hal-hal yang berkaitan dengannya, (5) Al-Tibyan fi al -Nahyi an- Muqata’ati al-Irhami waal-Aqoribi waal-Ihkwan, berisi uraian pencegahan silaturrrahmi, baik dengan tetangga dekat maupun dengan sahabatnya.
(6) Al-Risalah al-Tauhidiyyah (Naskah kecil ini, berisi uraian penjelasan akidah bagi ahlu-sunnah wa-al-jama’ah), dan beberapa kitab lainnya.
Akhir Perjuangan K.H Hasyim Asy’ari di 7 Ramadan
Melansir laman NU, K.H Hasyim Asy’ari, adalah seorang tokoh publik, kyai dan juga pejuang rakyat yang ikut melawan penjajah Jepang dan agresi militer Belanda jilid II. Waktu itu, bertepatan dengan Ramadan tahun 1366 H.
KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang dari Pesantren (2001) mencatat bahwa pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan serangan mendadak ke wilayah Republik Indonesia.
Pada serangan dadakan tersebut tentu saja banyak korban terutama para pejuang santri, baik dari Hizbullah maupun Sabilillah. Pada saat itu, seluruh umat Islam melakukan gerakan internal selain kesiapan militer.
Setiap dari doa dilakukan oleh qunut nazilah, doa khusus untuk meminta kemenangan dalam perjuangan. Alhasil, akibat penyerangan 21 Juli 1947, wilayah negara Republik Indonesia semakin menyusut.
Wilayahnya kala itu, hanya meliputi jalur Mojokerto di sebelah timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogyakarta sebagai pusatnya saat itu.
Ketika itu Kota Malang jatuh dalam agresi Belanda pada 21 Juli 1947. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah, cukup mengejutkan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Ketika berita bencana disampaikan oleh Kiai Gufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya), Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengaji. Begitu kabar buruk itu disampaikan, Kiai Hasyim Asy’ari langsung memegangi kepalanya sambil menyebut nama Allah:
“Masyaallah, Masyaallah!” lalu pingsan tak sadarkan diri.
Ketika itu Hadratussyekh mengalami pendarahan otak setelah diperiksa oleh dokter. Waktu itu, dokter yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apapun, karena kondisi beliau sudah sangat parah.
Hadratussyekh yang secara khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Malang tidak sempat ditemui oleh utusan Panglima Besar, Soedirman dan Bung Tomo.
Dan pada Malam itu pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, Hadratussykh KH Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya.
Pesantren kehilangan tokohnya, Indonesia kehilangan pejuangnya dan bangsa Indonesia kehilangan putra terbaiknya.
Apalagi dalam kondisi saat itu, rakyat masih membutuhkan perannya sebagai penggerak kemerdekaan bangsa Indonesia.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Beliau adalah seorang ulama besar dengan puluhan buku dan manuskrip yang tidak abai dengan kondisi bangsanya.
Gigih Menantang Penjajahan
Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada tanggal 9 Ramadan 1364 yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dari awal merupakan salah satu tokoh agama pesantren yang gigih menentang penjajahan.
Beliau selalu dijadikan rujukan dan nasehat dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain.
Konon dalam penentuan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 di bulan Ramadan. Namun, informasi ini memerlukan verifikasi lebih lanjut.
Menempa diri dalam mencari ilmu di Mekkah tidak serta merta membuat KH Hasyim Asy’ari lalai dengan keadaan dan kondisi kaumnya di tanah air. Ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah.
Kegelisahannya itu terungkap dalam pertemuan di Multazam dengan kawan-kawan dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.
Choirul Anam dalam Tumbuh Kembang NU (2010) mencatat pertemuan itu terjadi satu hari di bulan Ramadan, di Masjidil Haram, Makkah.
Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahirlah kesepakatan di antara mereka untuk bersumpah di hadapan “Multazam”, di dekat pintu Ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang sedang dalam keadaan penjajahan.
Isi perjanjian tersebut antara lain berupa janji yang harus ditepati ketika mereka tiba dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji itu berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan menyebarkan ilmu dan memperdalam ilmu agama Islam.
Bagi mereka, tekad itu harus dikobarkan dan dipersatukan dengan sumpah. Karena pada saat itu kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yaitu berada di bawah penjajahan bangsa Barat.
Sebagai salah satu pengajar pesantren, KH Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang luas sehingga mampu membangkitkan kesadaran masyarakat tentang perjuangan dan cinta tanah air.
Baginya, prinsip ini penting untuk menumbuhkan semangat perjuangan rakyat melawan dan mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.
Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat KH Hasyim Asy’ari meninggalkan tradisi keilmuan Islam. Di tangannya, pesantren bukan hanya tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi basis perjuangan bangsa Indonesia dan menjadi wadah pergerakan bangsa.
Ia tetap mengajar berbagai macam kitab, menulis kitab, dan mengajarkan ilmu hadits yang menjadi keahliannya.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 202) yang diperolehnya dari alumnus Tebuireng, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari seperti kebanyakan ulama di Indonesia merupakan kelompok fuqaha. Artinya orang yang sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman.
Selain itu, menurut catatan Kiai Saifuddin Zuhri, beliau juga terkenal sebagai ahli hadits. Sudah menjadi wiridan (kebiasaan rutin) setiap bulan Ramadan, Hadhratussyekh membaca kitab hadits al-Bukhori, kitab kuning berisi kumpulan hadits Nabi Muhammad yang berjumlah 7.275 hadits.
Banyak ulama datang dari berbagai pelosok tanah air untuk menginap di Tebuireng selama bulan Ramadan untuk mendengarkan bacaan hadits KH Hasyim Asy’ari.
Kepiawaiannya tidak hanya terlihat ketika membaca kitab-kitab hadits secara cermat dan cepat, tetapi juga ketika Hadhratussyekh mengkontekstualisasikannya dengan dinamika kehidupan dan perubahan zaman.
Termasuk ketika menulis Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang banyak mengutip hadis-hadis yang relevan dan kontekstual. Ada cerita ketika KH Hasyim Asy’ari difitnah oleh Jepang (Nippon).
Jepang melancarkan tudingan dan fitnah pemberontakan guna memenjarakan Kiai Hasyim Asy’ari. Jepang melancarkan terornya dengan datang langsung ke Pesantren Tebuireng.
Tak ingin santrinya menjadi korban kekejaman Nippon, Kiai Hasyim Asy’ari merelakan dirinya dibawa tentara Jepang dan dipenjarakan.
Di dalam penjara, KH Hasyim Asy’ari mengalami siksaan pedih dari militer Jepang dengan alasan yang tidak pernah dilakukannya.
Meski mengalami berbagai kekerasan di dalam penjara, kakek KH Abdurrahman Wahid ini tidak menyurutkan semangatnya untuk menegakkan agama Allah sedikit pun dengan tetap melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan menghafal hadits-hadits dalam kitab Al-Bukhori dan dengan tegas menolak untuk menghormati matahari sebagai sikap tunduk dan patuh kepada Kaisar Jepang, Teno Heika.
Kisah tekad Kiai Hasyim Asy’ari untuk tetap menghafal Al-Qur’an dan Hadits Al-Bukhari sebagai wiridan selama dipenjara Jepang dikisahkan oleh Panglima Hizbullah wilayah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri saat berbincang dengan KH Wahid Hasyim (Berangkat dari Pesantren, 2013) dalam sebuah kesempatan sesaat setelah Kiai Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang melalui diplomasi KH Abdul Wahab Chasbullah dan Gus Wahid sendiri.
“Bagaimana kabar Hazratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari setelah dibebaskan dari tahanan Nippon?” tanya Kiai Saifuddin Zuhri mengawali pembicaraan dengan Kiai Wahid Hasyim.