“Tuan rumah tak kan berunding dengan malng yang menjarah rumahnya”. Kalimat dengan cat putih di papan kayu hitam menjadi tanda jalan menuju makam tan malaka. Puluhan undak-undakan menurun itu menuju ke sebuah petak makam. Hamparan sawah mengelilingi petak makam itu. Angin sepoi dan gemercik air sungai menjadi alunan musik yang menggoyangkan batang-batang padi.
Jejak kaki para peziarah perlahan menuju makam di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Senin (21/2) siang. Selain keheningan, para peziarah juga khidmat untuk berdoa di sebuah makam kecil dengan nisan hitam bertinta emas.
Sebuah nama terpahat pada nisan itu ialah tokoh penting dalam perjalanan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Tan Malaka. Pahlawan nasional asal Suliki, Sumatera Barat ini bertemu dengan takdir kematiannya di Kediri. Setelah berkeliling dunia pada 11 negara pada dua benua, Kediri menjadi situs peristirahatan keabadian Tan Malaka. Ia mati tertembak oleh tentara dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya atas perintah Letda Soekotjo pada 21 Februari 1949, tepat 73 tahun silam.
Gerilya yang dilakukan dari Yogyakarta menuju Jawa Timur harus terhenti di Kediri. Dalam Buku karya Harry Poeze yang berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 4 menerangkan bahwa Tan Malaka menolak politik diplomasi yang dijalankan oleh Soekarno-Hatta kepada kolonial Belanda ketika agresi militer. Ia menulis pamflet untuk menarik perhatian rakyat dengan judul “Program Mendesak”.
Poeze menerangkan bahwa Tan tak hanya omong kosong. Pamflet-pamfletnya yang tersebar di Jawa Timur tersebut berhasil menggalang kekuatan 17 batalyon dan membentuk Gerakan Pembela Proklamasi (GPP). Bahkan, dalam pergerakannya Tan Malaka mempunyai panduan untuk melakukan GPP yakni sesuai dengan karyanya yang berjudul Gerakan Politik Ekonomi (Gerpolek).
Lantas, mengapa Tan Malaka harus ditangkap dan dibunuh? Sebuah pertanyaan dari kelompok mahasiswa yang ikut berziarah di makam Tan Malaka. Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Imam Mubarok, yang memandu ziarah tersebut secara terang membeberkan bahwa Tan Malaka dianggap menjadi penggerak gerakan kiri yang akan membelot dari pemerintahan Soekarno-Hatta.
“Datuk Ibrahim Tan Malaka ini dinilai membahayakan karena berafiliasi dengan kekuatan kiri,” ungkapnya kepada para mahasiswa Universitas Nusantara PGRI yang sedang menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Hal ini selaras dengan pernyataan Poeze terkait alasan perintah membunuh Tan Malaka. Poeze menjelaskan bahwa Tan dalam pamflet gerilya menuliskan bahwa dirinya ialah pemimpin Revolusi Indonesia.
Baca juga : Terbengkalai di Desa Kandat, Nasib Kereta Bupati Kediri yang Diasingkan ke Manado
Namun, pikiran-pikiran Tan Malaka tak dapat dipungkiri telah mempengaruhi banyak tokoh nasional. Ketika Tan Malaka di Canton (Guangzhuo,sekarang) Republik Tiongkok, ia membuat sebuah tulisan panjang tentang kemerdekaan Indonesia. Karya tersebut berjudul Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia pada 1925 telah memukau banyak tokoh, termasuk Soekarno, untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karya ini jauh mendahului pikiran Mohammad Hatta yang berjudul Indonesia Vrije atau Indonesia Merdeka sebagai pledoinya ketika di Pengadilan Den Haag pada 1928. Atau bahkan karya Soekarno yang sangat fenomenal dengan judul Menuju Indonesia Merdeka pada 1933. (Setyo)