Metaranews.co, Jawa Timur – Vonis ringan terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya ramai disorot.
Mulai dari orang tua korban tragedi Kanjuruhan, aktivis mahasiswa hingga anggota DPR juga turut memberikan respon.
Seperti kata Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman. Dia menyoroti putusan PN Surabaya yang memutuskan bebasnya kedua terdakwa dan vonis ringan bagi terdakwa AKP Hasdarmawan dalam tragedi Kanjuruhan.
Menurutnya, kinerja penyidik hingga proses peradilan perlu dievaluasi dalam penegakan hukum kasus ini. Pasalnya, harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi yang menewaskan ratusan orang itu.
“Secara hukum, kejadian ini memakan banyak korban, pasti ada kesalahan,” kata Habiburokhman di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2023) melansir Suara.com.
“Seharusnya logika hukum itu sederhana, ada yang bertanggung jawab. Tiba-tiba bebas, salahnya di mana?” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menyebut perlu ada evaluasi dari awal seperti pemeriksaan, penetapan tersangka, penyusunan surat dakwaan, hingga tuntutan jaksa dan putusan hakim.
“Kalau gratis, lalu siapa yang bertanggung jawab? Kalau tidak ada yang bertanggung jawab, tentu ini tidak menunjukkan empati kepada masyarakat, kepada korban,” kata Habiburokhman.
Keluarga Korban Tak Puas
Putusan Majelis Hakim PN Surabaya dalam sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan Malang yang memberi bonus ringan kepada dua terdakwa, membuat keluarga korban tak puas.
Keluarga korban yang sempat hadir, kemudian menangis setelah mendengar Hakim memutuskan 1 orang terdakwa divonis 1 tahun 6 bulan penjara, dan dua terdakwa lainnya dibebaskan.
Susiani (38), ibu dari korban Hendra (16), tak kuasa menangis, sambil memeluk foto anaknya yang ia dekap erat. Sama halnya dengan Isatus Sa’adah, kakak korban Jaka yang meninggal akibat Tragedi Kanjuruhan Malang. Ia merasa tak puas dengan putusan Hakim di sidang lanjutan pada Kamis (16/3/2023).
“Tidak puas dan kecewa, harapannya mereka dihukum secara adil, semua tetap melalui proses pengadilan, tapi lagi-lagi rasa keadilan kami tercabik-cabik,” ucap Isatus.
Tidak hanya putusan hakim hari ini, dalam vonis terdakwa Abdul Haris selaku Panpel Arema FC Vs Persebaya yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara, dan Satpam Suko Sutrisno hanya 1 tahun, menurutnya tidak adil terhadap korban keluarga.
“Seperti putusan kemarin yang saya dengar juga ringan, lalu hari ini dijatuhkan lagi hukuman ringan dan saya merasa, keadilan dicabik-cabik bukan hanya dari saya, tapi ibu saya, keluarga saya, tapi juga keluarga korban lainnya, lalu ribuan pasang. Saksi mata Kanjuruhan kemarin termasuk semua yang berduka atas Tragedi Kanjuruhan,” lanjut Isatus.
Menurut keterangannya, sebelum sidang pembacaan vonis hari ini, keluarga korban juga sudah berkumpul di Malang. Hanya saja Isatus tidak menyebutkan apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu.
“Pernah ada pertemuan keluarga korban di Malang, tanggapan keluarga korban pasti ada perbedaan pendapat. Jadi saya sendiri tidak bisa mewakili keluarga 135 korban,” jelasnya.
Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa di Malang
Lanjutan Tragedi Kanjuruhan Malang dengan agenda pembacaan vonis terhadap tiga oknum polisi digelar di Pengadilan Negeri Surabaya. Vonis terhadap ketiganya dinilai terlalu ringan.
Dalam persidangan, majelis hakim membebaskan mantan Kapolres Samapta Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kombes Wahyu Setyo Pranoto. Sedangkan AKP Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Dalam putusannya, hakim menilai Hasdarmawan melanggar Pasal 359 KUHP yang menyebabkan kematian atau luka karena kelalaiannya. Namun, dua terdakwa lainnya dibebaskan.
Sidang putusan ketiga terdakwa polisi itu dimulai pukul 10.10 WIB di Ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pembacaan putusan ketiga terdakwa dilakukan secara terpisah.
Terdakwa Hasdarmawan adalah yang pertama divonis. Selama persidangan, ia mengenakan baju putih dan celana hitam untuk mendengarkan vonis yang dibacakan Abu Achmad Sidqi Amsya.
“Menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa Hasdarman dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan putusan, Kamis (16/3/2023).
Vonis ringan ini memicu kekecewaan. Di Malang, Jawa Timur, ratusan mahasiswa dari berbagai elemen langsung menggelar aksi demo di depan kantor balaikota.
Mahasiswa kecewa dan memprotes proses persidangan. Mereka menilai kasus tersebut seharusnya ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Demikian disampaikan Koordinator Aksi Abi Naga Parawansa.
Dia menilai, putusan hakim di persidangan jauh dari rasa keadilan dan kemanusiaan.
“Putusan hakim masih jauh dari kemanusiaan. Kami menuntut Tragedi Kanjuruhan dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Aksi yang melibatkan berbagai elemen mahasiswa dan aktivis di Malang itu menyerukan enam poin tuntutan.
Pertama, mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya dan seadil-adilnya terhadap para terdakwa di pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi.
Mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk proaktif mengusut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM berat Kanjuruhan secara pro justitia.
Mendesak Kapolri untuk segera membenahi institusi kepolisian dan mengusut keterlibatan oknum-oknum dalam tragedi Kanjuruhan.
Mendesak Panglima TNI untuk menghentikan segala bentuk militerisme dan kekerasan terhadap warga sipil.
Mendesak PSSI dan PT LIB untuk bertanggung jawab secara hukum atas 135 korban jiwa dan ratusan korban luka akibat Tragedi Kanjuruhan.