Metaranews.co, News – Ancaman depopulasi di Jepang semakin nyata dan mengkhawatirkan. Pasalnya, sejumlah SD, SMP dan SMA banyak yang telah tutup karena kekurangan siswa.
Pengurangan populasi di Jepang ini sudah dalam hitungan yang besar. Jepang disebut sedang mengalami depopulasi emergency.
Hal itu, yang membuat pemerintah setempat mulai mencanangkan wanita wajib memiliki 2 anak. Melansir akun Twitter @strategi_bisnis, depopulasi ini disebabkan karena adanya budaya childfree.
Budaya ini membuat dua pasangan suami istri di Jepang memilih untuk tidak memiliki anak karena kesibukan kerja. Disebutkan juga, penyebab lainnya dari childfreeness ini adalah karena peningkatan pendidikan perempuan, sehingga mereka enggan anaknya menghambat karir mereka.
Di akun tersebut juga menyebut bahwa kemungkinan besar dalam 75 tahun ke depan, Jepang akan kehilangan setengah dari populasinya.
Hal ini jelas akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara, bahkan jika tidak segera diatasi maka negara akan terancam punah.
Bahkan Korea paling parah dibandingkan Jepang, disebutkan pula bahwa populasi Korea akan anjlok dalam 50 tahun ke depan. Tentunya hal ini akan sangat mempengaruhi perekonomian negara.
Untuk itu, agar jumlah penduduk sejumlah negara tidak turun, mereka harus memiliki TFR (tingkat kesuburan total) di atas 2,1.
Artinya, setiap wanita di setiap negara harus memiliki minimal 2 anak. Sedangkan yang terjadi di Jepang, mereka hanya memiliki TFR 1,3.
Bagaimana dengan situasi di Indonesia?
Meski secara nasional angka fertilitas masih cukup tinggi, 2,36 anak per perempuan, bukan berarti Indonesia lepas dari tren tersebut. Khusus di kota-kota besar, trennya lebih rendah.
Misalnya, Jakarta memiliki angka fertilitas 1,48 anak per perempuan, Yogyakarta 1,53 anak per perempuan, Sumatera Barat 1,75 anak per perempuan, Bali 1,72 anak per perempuan, dan Riau 1,80 anak per perempuan.
Barangkali yang juga disayangkan, sebenarnya adalah fenomena tantangan besar terhadap masalah kependudukan ini, yaitu masalah kualitas dan kuantitas. Banyak warga yang berpendidikan dan berkecukupan akhirnya memilih untuk tidak memiliki banyak anak.
Sementara itu, disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kelahiran di Indonesia terus turun, tercermin dari angka fertilitas total (TFR) yang turun menjadi 2,18 dari 50 tahun lalu sebesar 5,61.
Benarkah penurunan ini sejalan dengan semakin populernya tren rumah tangga yang enggan punya anak alias childfree?
TFR 2,18 berarti setiap perempuan melahirkan dua sampai tiga anak selama masa reproduksinya, menurun dibanding lima dekade lalu yang antara lima sampai enam anak.
Namun, Diahhadi Setyonaluri, Ketua Prodi Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan UI, mengatakan penurunan tersebut tidak selalu berkaitan dengan tren childfree.
“Namun karena masyarakat mulai menyadari jumlah anak ideal. Angkanya 2,18, artinya rata-rata per perempuan usia subur memiliki sekitar dua anak. Bukan bebas anak, tapi memiliki sekitar dua anak,” ujar perempuan yang akrab disapa sapa Ruri ini.
Ia juga pernah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa rumah tangga tanpa anak memang meningkat. Namun, jumlahnya telah tipis dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 9% dari total rumah tangga Indonesia.
Dia melihat bahwa ada kemungkinan rencana tanpa anak hanyalah pandangan yang dinamis. Dia mencontohkan, pasangan muda di bawah usia 25 tahun yang baru saja menikah mungkin awalnya berkomitmen untuk tidak memiliki anak, namun rencana itu bisa berubah seiring bertambahnya usia dan kehidupan mereka yang semakin mapan.
Hal ini sejalan dengan data BPS yang menunjukkan bahwa puncak kelahiran dalam beberapa dekade terakhir telah bergeser ke usia yang lebih tua.
Pada tahun 1971, angka kelahiran tertinggi terjadi pada usia 20-24 tahun yang mencapai 286 kelahiran per 1.000 perempuan.
Namun pada tahun 2022, puncaknya terjadi pada usia 25-29 tahun yang mencapai 131 kelahiran per 1.000 perempuan. Detailnya ada di bagan di bawah ini.
Grafik di atas menunjukkan puncak kelahiran mulai bergeser ke usia 25-29 tahun mulai awal tahun 2000-an. Padahal, dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan angka kelahiran per 1.000 perempuan pada kelompok usia 25-29 tahun, sedangkan kelompok usia yang lebih muda terus menurun.