Metaranews.co, News – Jumlah kasus TBC Jatim sampai 8 Agustus kemarin mencapai 51.548 kasus. Hal ini disampaikan drg. Sulvy Dwi Anggraini Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim.
“Yang terlaporkan itu sekitar 51.548 kasus TBC dari estimasi 116.752 (kasus) yang ada di Jawa Timur. Jadi sudah 44 persen ya, kita menemukan kasus TBC baru,” bebernya.
Dia mengatakan Dinkes Jatim secara masif terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat supaya mau melakukan screening. Mengingat, penyakit tersebut bisa menjadi fenomena gunung es yang awalnya mungkin tampak sedikit, namun jumlahnya bisa jadi lebih besar.
“Karena itu kita juga mohon kepada seluruh masyarakat untuk melakukan screening mandiri, penilaian terhadap dirinya apakah dia beresiko terhadap TBC atau tidak. Dia terduga atau tidak, itu melakukan screening mandiri. Kalau tidak bisa melakukan screening mandiri, bisa kontak tenaga kesehatan (nakes) yang ada di fasilitas kesehatan supaya kita bantu untuk melihat, apakah dia terduga TBC atau bukan,” jelasnya.
Untuk screening mandiri, drg. Sulvy menyebut masyarakat bisa memanfaatkan aplikasi E-TIBI yang sudah disiapkan Dinkes Jatim. Aplikasi itu memang diluncurkan untuk membantu masyarakat melakukan screening mandiri, sebagai upaya optimalisasi untuk menemukan terduga TBC.
Nantinya, masyarakat yang merasakan keanehan dan menduga adanya potensi terpapar TBC seperti mengalami batuk tak berkesudahan, telinga dingin saat malam hari.
“Di download, diisi identitas, nanti keluar pertanyaan yang sifatnya tertutup, tinggal centang-centang saja dan nanti kesimpulannya keluar, terduga TBC atau tidak,” ucapnya.
Jika hasil dari kesimpulan menunjukan yang bersangkutan diduga terpapar TBC, maka akan muncul rekomendasi untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat baik puskesmas maupun rumah sakit, supaya dilakukan diagnosis dengan Tes Cepat Molekuler (TCM).
Adapun selain screening mandiri, Sulvy memastikan kalau Dinkes Jatim juga melakukan upaya jemput bola. Saat ini ada dua strategi, selain pasif test pending atau screening mandiri, ada juga active care pending dimana nakes dibantu kader kesehatan maupun komunitas melakukan screening kepada seluruh masyarakat.
Lokasinya bisa di wilayah-wilayah kumuh, padat penduduk, bahkan di pondok pesantre, sekolah maupun tempat-tempat kerja di perkantoran dan sebagainya, bahkan pasien-pasien yang ada di fasilitas kesehatan.
“Dan sebenarnya kita memang tidak hanya fokus hanya untuk mencari pasien-pasien yang sakit TBC, tapi pasien yang sekiranya klinisnya baik tetapi ketika dites, dia itu laten TBC. Artinya dia belum sakit, tetapi dia bakterinya (penyebab TBC) itu sudah tidak bisa terakomodir, sehingga ini perlu diobati dengan terapi pencegahan tuberkulosis supaya dia tidak jatuh sakit,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan, untuk pasien yang laten TBC, ada obat sendiri yang dikonsumsi, yakni obat anti tuberkulosis.
“Terapi pencegahan tuberkulosis, kita punya tiga macam, ada yang diminum tiga bulan ada yang diminum enam bulan. Nanti untuk pastinya bisa datang ke fasilitas layanan kesehatan, karena yang tiga bulan itu ada dua macam, yang enam bulan itu ada satu macam,” rincinya.
Meski demikian, diakui juga kalau efek meminum obat kepada masing-masing pasien memang berbeda. Ada yang tidak mengalami efek samping, ada yang mual, hingga ada yang warna urinenya jadi merah.