Metaranews.co, Kota Kediri – Tim penasihat hukum Ahmad Faiz Yusuf menilai Pengadilan Negeri (PN) Kota Kediri telah melegitimasi pelanggaran hukum yang dilakukan aparat kepolisian.
Pernyataan itu disampaikan menanggapi putusan hakim tunggal Bayu Agung Kurniawan, yang menolak seluruh permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Faiz di Ruang Sidang Cakra PN Kota Kediri, Selasa (11/11/2025) siang.
Hakim Bayu menyatakan, penangkapan, penggeledehan serta penetapan tersangka yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Kediri Kota telah memenuhi unsur hukum formil dan materil sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam amar putusannya, hakim menilai penyidik memiliki dua alat bukti sah, dan menyatakan proses penangkapan serta penggeledahan terhadap Ahmad Faiz Yusuf telah sesuai prosedur.
Hakim juga menolak keberatan pihak pemohon soal penerapan pasal yang keliru dalam berkas penyidikan, yakni penyebutan Pasal 54 UU Nomor 1 Tahun 2024 yang tidak terdapat dalam UU ITE.
Menurut hakim, kekeliruan tersebut sebagai kesalahan teknis yang tidak memengaruhi sahnya proses hukum.
“Majelis berpendapat bahwa tindakan penyidik telah sesuai prosedur hukum. Dengan demikian, permohonan pemohon ditolak seluruhnya,” tegas Hakim Bayu.
Namun, keputusan ini menuai kritik keras dari pihak kuasa hukum Ahmad Faiz Yusuf. Ichwan Fachrojif, penasihat hukum dari LBH PP Muhammadiyah mengatakan, pihaknya tidak melihat pengadilan sebagai alat kontrol untuk melindungi hak-hak rakyat.
“Proses penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dilakukan tanpa kejelasan status hukum klien kami. Dengan putusan ini, pengadilan justru melegitimasi pelanggaran hukum yang seharusnya mereka awasi,” tegas Ichwan usai persidangan.
Menurut Ichwan, fungsi praperadilan semestinya menjadi mekanisme kontrol terhadap upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum, bukan justru mengesahkannya.
Ia menyebut, putusan hakim menjadi preseden buruk bagi perlindungan hak asasi warga negara.
“Kalau ini dibiarkan, semua orang bisa mengalami hal serupa. Dilakukan penggeledahan, penangkapan, bahkan penyitaan tanpa proses hukum yang adil. Ini bentuk kegagalan pengadilan menjalankan perannya,” lanjutnya.
Nada keberatan senada juga disampaikan kuasa hukum lainnya, Anang Hartoyo dari LBH AP Muhammadiyah Nganjuk.
Anang menilai putusan hakim kontradiktif dengan prinsip-prinsip hukum pidana dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur keabsahan alat bukti digital.
Selanjutnya, Anang mempertanyakan mengapa hakim mengabaikan fakta penetapan tersangka yang dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium forensik.
Penetapan tersangka dilakukan pada 22 September 2025, sementara hasil laboratorium forensik baru diketahui pada 29 September 2025.
“Kami menemukan kejanggalan karena hasil laboratorium digital forensik baru muncul setelah penetapan tersangka dilakukan. Itu artinya alat bukti tidak lengkap saat penetapan dilakukan. Tapi hal itu diabaikan hakim,” jelas Anang.
Ia juga menyoroti keanehan lain, seperti tanggal penetapan tersangka yakni pada 22 September 2025 yang bersamaan dengan waktu penyidikan, serta penggunaan penyidik sebagai saksi dalam proses pembuktian.
Anang juga menyoroti pengadilan yang mengabaikan ketidaktepatan penerapan pasal adalah pasal 54 UU ITE yang tak ada dalam UU ITE, hal ini diakui dalam persidangan sebagai typo, sementara pasal yang dimaksud pasal 45 UU ITE.
“Hakim juga menganggap salah pengetikan pasal sebagai hal teknis semata. Padahal hukum pidana menuntut kepastian hukum. Ini berbahaya karena orang bisa ditetapkan sebagai tersangka hanya karena typo,” tegasnya.
Pandangan serupa disampaikan Lingga Parama dari LBH Surabaya, yang juga hadir mendampingi tim hukum.
Lingga menilai, putusan hakim mengabaikan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia yang menjadi roh dari mekanisme praperadilan.
“Kami cukup kecewa terhadap putusan hari ini. Praperadilan seharusnya menjadi bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia. Tapi tindakan-tindakan yang seharusnya dianggap pelanggaran prosedur justru diamini sebagai sah,” ujar Lingga.
Menurut dia, sejumlah saksi yang dihadirkan oleh tim pemohon justru dikesampingkan, sementara keterangan penyidik dijadikan rujukan utama.
“Saksi itu seharusnya orang yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung peristiwa, bukan penyidik yang justru bagian dari proses itu sendiri. Ini mengaburkan makna saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP,” jelasnya.
Lingga menegaskan, putusan tersebut mencerminkan kemunduran dalam penghormatan terhadap asas demokrasi dan perlindungan hukum bagi warga negara.
“Kami menyayangkan bahwa hingga hari ini, tindakan aparat yang semestinya dikoreksi malah dianggap benar. Ini mengecewakan bagi kami yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan demokrasi,” tutupnya.
Para kuasa hukum menyatakan akan mendiskusikan langkah hukum lanjutan setelah putusan ini, termasuk kemungkinan menempuh mekanisme arbitrase atau upaya lain yang relevan.
Pihak keluarga Ahmad Faiz Yusuf tampak terpukul mendengar putusan tersebut. Sang ibu, Imroatin, bahkan harus dibantu keluar ruang sidang dengan kursi roda lantaran tidak kuasa menahan tangis.






