Metaranews.co, Jakarta- Pelaksanaan ibadah haji tahun 2022 atau 1443 Hijriah ini mencatat ada 89 jemaah asal Indonesia yang meninggal dunia. Mereka wafat ketika melaksanakan proses ibadah haji di tanah suci Mekkah.
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) merinci beberapa jemaah meninggal ketika proses ibadah haji. Sekretaris Jenderal Kemenag, Nizar Ali menerangkan untuk 27 jemaah wafat sebelum masa puncak di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Sedangkan, saat di Armuzna, Nizar menyatakan ada 16 jemaah yang wafat. Sisanya ada 46 jemaah haji Indonesia setelah melaksanakan ibadah di Armuzna.
“Jemaah haji Indonesia yang meninggal terdiri dari 87 jemaah haji reguler dan dua oranh jemaah haji khusus. Semoga semua dapat tempat terbaik di sisi Allah, ” ungkap Nizar dari laman kemenag.or.id.
Selain itu, dari angka kematian jemaah haji, menurut Nizar tahun ini merupakan tingkat kematian terendah selama lima tahun terakhir. Dari data Kemenag, kata Nizar, pada tahun 2019 tercatat 447 jemaah wafat. Untuk 2018 ada 350 jemaah meninggal. Sedangkan angka tertinggi pada 2017 silam sebanyak 645 jemaah meninggal dunia, dan tahun 2016 sejumlah 342 jemaah meninggal dunia.
Terkait penyakit atau penyebab kematian jemaah haji Indonesia, Kepala Pusat Kesehatan Haji, dr. Budi Sylvana, menyatakan bahwa mereka didominasi penyakit jantung dan pernapasan.
“Secara umum angka jamaah yang sakit maupun yang meninggal cukup signifikan penurunannya. Kasus jemaah meninggal dunia didominasi penyakit jantung dan pernapasan, ” ungkap Budi Sylvana.
Menurut Budi, penurunan tingkat kematian jemaah haji ini salah satunya dipengaruhi oleh digitalisasi pelayanan dan pengawasan kesehatan melalui aplikasi TeleJemaah yang disambungkan pada alat wristband di pergelangan tangan jemaah.
“TeleJemaah memudahkan petugas kesehatan memantau kondisi kesehatan jemaah haji berisiko tinggi. Tahun inj kita bagikan sekitar 3000 wristband, ” imbuhnya.
Selain itu, pada tahun ini Kemenkes juga menerapkan rompi berteknologi carbon cool yang digunakan jemaah untuk menurunkan suhu badan ditengah cuaca panas yang ekstrim di tanah suci.
Menurut Bud langkah ini dinilai efektif dalam mencegah kasus kematian akibat heat stroke (serangan panas).
“Meskipun kasusnya banyak, tapi angka kematian akibat heat stroke saat Armuzna tidak ada, ” pungkasnya.