Metaranews.co, Kediri- Tragedi Kanjuruhan yang merenggut 131 suporter Arema FC turut menuai keprihatinan akademisi IKIP Budi Utomo (IBU) Malang, Dr Sakban Rosidi. Sebagai warga Kota Malang, ia juga merasa terpukul dengan adanya kejadian ini. Ia menyayangkan hal itu lantaran semestinya sepak bola menjadi ajang hiburan, kini malah menjadi tragedi mengerikan.
“Saya juga sempat terpukul juga oleh kejadian itu. Saya malah kampanye gak usah nonton bola,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang, usai diwawancara metaranews.co.
Dia menilai sudah saatnya merevolusi pikiran filsafat tentang bidang olahraga yang merusak. Artinya, iklim yang serba kompetisi pada olahraga menjadi budaya yang sportif melihat hasil menang atau kalah biasa saja. Hal ini akan menjadi menyehatkan dunia olahraga llebih baik.
Selain berkiprah di dunia kampus, Sakban juga menyebut pernah menjadi anggota dewan pembina yayasan Arema. Jadi bukan sekadar Aremania. Menurutnya, filsafat tentang sepak bola sekarang sekadar memuja kompetisi. Memuja kemenangan, berbeda yang seharusnya menjadi sebuah hiburan menang kalah hal biasa.
Lagipula, Arema FC ini disebut-sebut bak dagangan yang diperjualbelikan dengan bentuk perusahaan terbuka (PT). Sampai membawa publik seperti ini, bahkan, Sakban mengatakan sepak bola ini seperti agama. Misal, tidak mengikuti kultur seperti itu jadi musuh masyarakat. Semestinya, perbedaan pilihan klub atau apapun itu sebagai bagian dari kekayaan dan perbedaan yang harus dihargai. Bukan malah saling memprovokasi dan membuat suasana tidak nyaman.
“Orang waras itu sekarang susah dicari di Malang. Misal ada Aremania di jalan, sebanyak 10 orang sudah dianggap mengerikan,” lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa klub tak seharusnya sampai mempertaruhkan nyawa. Para suporter bola dimana pun seharusnya sadar, hidup haruslah rasional mendukung sewajarnya, bukan menuruti keberanian saat banyak massa.
Dia menjelaskan hal-hal seperti tewasnya sejumlah suporter ini tidak bakal terjadi apabila protokol keamanan dilaksanakan dengan baik. Kemudian, apakah ada trauma di masyarakat Malang khususnya?
Ditanya ini, Sakban menyebut ini bakal menjadi hal yang biasa untuk bersedih dan berdoa, bagi korban. Karena tewasnya satu manusia saja menjadi masalah apalagi berjumlah ratusan. Dalam konteks perspektif korban itu, mau disengaja atau tidak ada jiwa manusia yang tewas yang ini harus disalahkan orang yang bertanggung jawab penyelenggaraan kompetisi ini.
“Kalau berbicara minat melihat bola, pasti menurun pasti akibat trauma, tetapi yang paling merasakan ialah yang mengalami langsung seperti keluarganya, dan uang tidak bisa menggantikan itu,” jelasnya.
Selain adanya trauma, juga ada rasa putus asa bagi mereka yang menapaki jenjang karir berolahraga. Trauma masyarakat menjadikan bayangan kelam. Sakban mengakui masyarakat Malang sendiri memang penggila bola, dikarenakan banyak menaruh impian di sepak bola. Apalagi, sepak bola profesional, atas kejadian ini menjadi pukulan seluruh komunitas olahraga.
“Masyarakat Malang berempati semua, mereka berdoa bersama. Kemudian yang dipercaya yang melakukan pengamanan ini harus melakukan revolusi total ditubuh Polri, karena hari ini kebencian masyarakat kepada polisi makin tinggi,” pungkasnya.