Metaranews.co, Kediri– Ragam kekuatan industri kecil menengah (IKM) di Kota Kediri kini semakin siap untuk menatap pembangunan kebudayaan dan perekonomian. Apalagi nanti setelah adanya Bandara Kediri yang ditetapkan proyek strategis nasional (PSN) diharapkan dapat membuka peluang bisnis untuk masyarakat Kediri raya.
Ada beberapa kelurahan yang ditetapkan Kota Kediri menjadi kampung keren. Mereka ialah kampung yang memiliki keunikan dan kelompok IKM yang dapat berkembang. Seperti Kampung Tahu Tinalan, Kampung Pecut Kemasan, dan Kampung Tenun Ikat Bandar Kidul. Kampung tematik tersebut dapat menjadi alternatif buah tangan untuk wisatawan yang berkunjung ke Kota Kediri.
Kampung Pecut Kemasan
Kampung Pecut merupakan sebutan atau julukan lain dari Kelurahan Kemasan, Kecamatan Kota Kediri Jawa Timur. Dibangun sejak tahun 2019, sebutan Kampung Pecut, dikenalkan untuk pemberdayaan pengrajin seni budaya pecut dari Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri.
Penggagas, sekaligus Ketua Paguyuban Kampung Pecut Hanif, mengatakan sebutan atau branding Kampung Pecut sejak tiga tahun lalu, sangat berdampak khususnya peningkatan ekonomi pengrajin pecut. Terutama kampung ini dikenal berbagai penjuru daerah, sebagai pusat perajin pembuatan pecut.
“Dengan adanya keberadaan Kampung Pecut di Kelurahan Kemasan Kota Kediri ini, kebutuhan pasokan alat seni pecut ini pun menjadi ciri khas,” kata Hanif.
Pecut sendiri, Diceritakan Hanif, merupakan senjata sakti warisan asli nenek moyang khususnya Kediri, Jawa Timur. Namun, seiring berjalannya waktu, pecut kini diproduksi menjadi sarana budaya seperti Kuda Lumping, Reog, Bantengan, dan budaya lainnya.
Secara kampung tematik, terang Hanif, ini masih dalam tahap proses pembangunan. Dimulai dari tiang-tiang lampu dulu berbentuk mirip pecut degan lingkungannya. Ada sejumlah 7 pengrajin/ pembuat pecut di Kampung Pecut Kelurahan Kemasan. Meskipun secara jumlah pengrajin sangat sedikit, Hanif menyebut, misi pembinaan Kampung Pecut dipilih untuk memajukan potensi masyarakat. Hasilnya, permintaan pecut meningkatkan tajam 100 persen, setelah pembentukan nama Kampung Pecut di Kelurahan Kemasan, Kota Kediri.
“Peningkatan full sampai 100 persen, bayangkan permintaan sampai dari luar kota,” ujarnya.
Kalau sebelumnya hanya 1-5 unit pecut selama satu bulan, kini sudah mencapai puluhan pesanan permintaan. Disebutkan sejumlah permintaan datang dari berbagai wilayah kota, hingga luar Pulau Jawa, seperti Palembang, Bontang, dan Kalimantan.
Hanif mengatakan bahwa satu perajin di Kemasan mampu membuat 4-5 unit pecut dalam jangka waktu satu bulan. Itupun tergantung dari kerugian bentuk dan ukuran pecut. Untuk harganya, biasanya mereka menjual berdasarkan ukuran dan bentuk mulai Rp75 ribu, sampai jutaan rupiah.
“Ada pecut untuk orang dewasa dan anak-anak, dan kalau sudah maniak mampu terjual hingga jutaan. Pernah terjual Rp7.500.000, bahkan sempat ditukar sepeda motor juga,” tambahnya.
Kampung Tahu Tinalan
Sebanyak 34 pengerajin tahu terlihat berjajar sepanjang kurang lebih 2 Kilometer di Kelurahan Tinalan, Kota Kediri. Hanya berjarak 5 Kilometer di timur pusat Kota Kediri. Orang menyebutnya Kampung Tahu.
Jauh sebelum diresmikan oleh Pemerintah Kota Kediri sebagai Kampung Tahu di tahun 2019, geliat bisnis tahu di Tinalan gang 4 ini sudah ada sejak 1954. Saat ini, mereka umumnya adalah generasi ketiga.
“Berdirinya tahu yang saat ini dikenal dengan Kampung Tahu, ini sebenarnya sudah lama sekali. Mulai ada tahu di sini itu sekitar tahun 1954,” kata Jamaludin.
Saat itu, Kampung Tahu diawali oleh Markam, kakek Jamaludin, dari Tulungagung yang merantau ke kampung itu karena ekonomi.
Sebelum memulai jualan tahu, Markam berjualan tempe gembos yang berbahan dasar ampas tahu. Namun, rupanya itu hanya siasat Markam untuk mencari informasi cara membuat tahu dari warga Tionghoa di kawasan pecinan Kediri.
Tahu ini ada dua versi, pertama dari warga Tionghoa dan yang versi kedua dari warga pribumi. Pada saat itu, mencari informasi soal cara membuat tahu Tionghoa sulit, karena memang pada waktu itu tidak boleh masuk.
“Akhirnya kakek saya, istilahnya pada waktu itu untuk cari informasi soal tahu di Kota Kediri ini, dengan jualan tempe dulu. Tempe gembos dari ampas tahu, akhirnya bisa masuk ke lokasi, tempat produksinya. Ooo..caranya buat tahu itu seperti ini, seperti itu,” tutur Jamal, generasi ketiga dari Markam.
Sejak saat itu, Markam mengajak teman-teman, adik dan keponakannya untuk membuat tahu di sini dengan gilingan batu. Dia mengotak-atik sendiri metode pembuatan tahu tersebut.
Lebaran yang jatuh pada 2 Mei lalu itu membuat produsen kuwalahan untuk memproduksi tahu. Dikarenakan, mereka tidak menyangka banyaknya permintaan tahu dan stik tahu di Kampung Tahu. Hal ini disampaikan Supingi, salah seorang produsen tahu. Ia menyampaikan bahwa lebaran lalu sebagai berkah yang di luar prediksi. Dikarenakan, pada H+2 lebaran para pengunjung membludak hingga membuatnya harus melakukan sistem buka tutup tiap dua hari sekali.
“Kaget sekali dua tahun pandemi tidak pernah seperti ini, lalu penjualan naik pesat,” ungkap Supingi, Jumat (20/5).
Rata-rata dalam sehari ia memasak tahu di atas 500 biji. Kemudian, ia mengolah tahu itu menjadi stik tahu. Namun, ada dua kendala yang dihadapi Supingi dalam membuat stik tahu. Pertama, hanya ada lima produsen stik tahu di Tinalan. Kedua, minimnya pasokan kedelai lokal yang menjadi bahan baku stik tahu.
“Kedelai lokal di Kediri sulit sekali dari dulu, belum lagi harganya terus naik,” imbuh Supingi.
Kampung Tenun Ikat
Kelurahan Bandar Kidul, Kota Kediri tak dapat dilepaskan dari tenun ikat. Pembentukan nama itu kian sukses mengenalkan kain tenun ikat hingga mancanegara, sejak tahun 2020 lalu.
Siti Rukayah (52) warga salah satu pengrajin Kampung Wisata Tenun Ikat Kediri, mengaku pembentukan nama Kampung Tenun Ikat tersebut lebih mengenalkan ke khalayak umum.
“Kampung ini lebih dikenal, terutama di wilayah Kediri. Dari yang sebelumnya belum tahu, kini jadi tahu adanya Kampung tenun,” kata Siti Rukayah.
Kemudian lanjut Rukayah, dari luar Kota Kediri, nama Kampung Tenun ikat ini juga lebih dikenal lebih luas. Dari sejumlah permintaan hampir seluruh wilayah Indonesia, hingga mancanegara di Timur Tengah.
“Pembelinya sudah datang seluruh Indonesia, kalau ke luar negeri sempat kirim ekspor ke Timur Tengah. Tetapi masih belum dapat ekspor sendiri, masih pakai tangan orahg lain,” ujarnya.
Menurut Rukayah, singkat sejarah sebelum didaulat menjadi Kampung Tenun, produksi kain tenun ikat ini sudah dikenal berpuluh-pukuh tahun lalu, sekitar tahun 1910. Bedanya kalau dahulu produk kain tenun ikat hanya berbentuk sarung, namun sekarang lebih bervariasi. Kini dibentuk menjadi produk baju, tas, sepatu macam-macam lwbih beragam.
“Jadi (produk) tenun ikat lebih beragam, dan konsumen lebih senang. Pemasaran pun juga begitu, kalau dahulu hanya dijual di pasar tradisional. Kini adanya Kampung Tenun, lebih tahu kalau Kediri ternyata ada (produk) tenun,”
Ia menuturkan pembentukan Kampung Tenun ini sekaligus memudahkan pemasaran atau penjualan bagi para pengrajin. Hampir satu desa wilayah Bandar Kidul, imbuhnya, terlibat memproduksi kain tenun ikat, totalnya sekitar 350 pengrajin.
Rukayah sendiri selaku pengrajin, mengaku perhari mampu memproduksi sejumlah 70 potong kain tenun ikat sepanjang 2,5 meter. Dengan jumlah sebanyak 70 Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Maka dalam jumlah skala produksi tersebut ia dibantu sebanyak 115 karyawan. Secara omset, diakuinya meningkat sebanyak 20 persen setiap tahun.
“Harganya cukup murah kalau handmade, (bahan) katun Rp200 ribu per potong, sedangkan (bahan) semi sutra Rp 400 ribu, dan sutra Rp600 ribu per potong,” jelasnya.
Perempuan 52 tahun ini menilai perkembangan Kampung Tenun pun semakin signifikan dengan sederet dukungan Pemerintah. Deretan puluhan event hampir setiap tahun yang ada semakin menambah eksistensi dan permintaan produksi.
Melihat perhatian pemerintah, dikatakan sejak dulu memang sudah getol mempromosikan produk tenun ikat ini. Terbukti sekarang saja, ada aturan khusus Surat Keputusan (SK) Walikota, agar seluruh PNS wajib memakai tenun ikat dihari tertentu.
“Ditambah giat Pemkot, kalau ada tamu pengadaan sovenir juga dari (kain) tenun. Lalu event apa saja icon juga tenun. Akhirnya berdampak penjualan, satu event mengalir ada permintaan,” tambahnya.
Rukayah berharap, ciri khas tenun ikat ini akan tetap berkembang menjadi kebanggaan produk unggulan daerah. Apalagi keberadaannya dinilai cukup langka, tergerus regenerasi jaman.
Bahkan dengan pengembangan potensi ini, tenun ikat ini berpeluang besar dikembangkan di wilayah lain Kediri. “Jadi sangat berpeluang paking besar mengembangkan tenun ikat. Bukan hanya di Kediri, tapi daerah lain juga bisa, belajar disini, bagaimana cara tenun ikat,” pungkasnya.