Bermula Jajanan Lebaran, Dumbleg Nganjuk Jadi Makanan Pasaran

Metaranews.co
Jajanan tradisional khas Kabupaten Nganjuk, dumbleg yang legendaris sejak zaman penjajahan Belanda. (istimewa)

Melancong ke Kabupaten Nganjuk tak lengkap bila tak mencicip jajanan khasnya, yakni Dumbleg. Jajanan pasar yang kian langka ini memiliki cita rasa yang tak diragukan lagi. Rasa gurih dan manis itu dibalut dengan aroma khas pelepah pinang sebagai bungkusnya. Tak seperti lemper atau nagasari yang dibungkus dengan daun pisang. Uniknya lagi, makanan sejenis dodol atau jenang ini hanya dijual pada weton Jawa tertentu, yakni pada Pon dan Kliwon. Kekhasan jajan ini menjadi tetap menjadi idola masyarakat Kota Angin.

Jajanan tradisional yang kian langka ini memiliki historis yang panjang. Seperti yang disampaikan Rusminingsih, produsen dumbleg asal Desa Gondang Kulon, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk. Perempuan 51 tahun ini menerangkan kisah yang ia dengar dari leluhurnya tentang awal kali masyarakat Gondang membuat dumbleg. Menurutnya, jajan ini mulanya hanya untuk sajian khas waktu Idul Fitri atau lebaran oleh masyarakat Kecamatan Gondang. Namun, seiring berjalannya waktu, makanan ini menjadi jajanan sehari-hari warga sekitar.

Bacaan Lainnya

“Jadi memasaknya itu satu hari sebelum pasaran Pon dan Kliwon. Nanti waktu Pon dan Kliwon akan dibawa ke pasar,” terangnya.

Metaranews.co
Jajanan tradisional khas Kabupaten Nganjuk, dumbleg yang legendaris sejak zaman penjajahan Belanda. (istimewa)

Jika dibentang dari waktunya, Rusminingsih menyebut dumbleg sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun, sayang peminat dumbleg kian menurun. Ia menerangkan bahwa ada beberapa faktor yang membuat dumbleg kurang peminatnya. Pertama, tampilan yang kurang menarik. Kedua, jumlah produksi tak sebanyak dulu karena keterbatasan pelepah pinang.

Sebagai generasi keempat pembuat dumbleg, sepinya pembeli akan membuat produsen merugi. Dikarenakan dumbleg bukanlah jajanan dengan pengawet makanan. Sehingga, dumbleg hanya bertahan maksimal tiga hari. Lebih dari itu, dumbleg akan basi dan dibuang jika tidak terbeli.

“Saya meneruskan usaha keluarga saja, sekarang saja tinggal dua orang di kampung yang memproduksi dumbleg,” kata Rusminingsih.

Tantangan produsen dumbleg tak sampai di sini. Proses pembuatannya pun juga terbilang tak mudah. Yakni, tepung beras dicampur dengan gula jawa, garam, gula pasir dan santan. Proses memasaknya, kata Rusminingsih, cukup memakan waktu sekitar 4 jam. Dan setelahnya, baru dibungkus dengan pelepah pinang.

Menurutnya, pelepah pinang itu bukan hanya sekadar pembungkus khas biasa saja. Rusminingsih mengakui bahwa pelepah pinang bisa menambah cita rasa legit dan manis.

Hal itu yang paling memungkinkan bila produsen kian beralih pekerjaan dan menurun drastis. Dulu, desanya sempat menjadi salah satu sentra pembuat dumbleg di Kota Angin.

“Pembelinya sepi, pembuatnya juga turun. Kalau harga standar Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu,” keluh Rusminingsih.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *