Getuk Lindri, Makanan Rakyat Ada Sejak Zaman Belanda Lambang Kesederhanaan

Getuk Lindri
Jajanan tradisional Getuk Lindri. (Foto by Metaranews.co)

Metaranews.co, Budaya – Getuk Lindri adalah jajan tradisional yang bahan dasarnya sama dengan jajanan tradisional pada umumnya. Perbedaannya ada pada tampilan, dimana Getuk Lindri lebih menarik karena diberi pewarna makanan.

Makanan ini pada umumnya bisa ditemukan di area sekitar Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dengan bahan dasar singkong, makanan ini telah bertransformasi dan mengikuti cita rasa terbaik.

Bacaan Lainnya

Sejarah dan Asal Usul Getuk Lindri

Getuk Lindri
Jajanan tradisional Getuk Lindri. (Foto by Metaranews.co)

Terbuat dari singkong, makanan ini bisa ditemukan hampir di seluruh pulau Jawa, Indonesia. Jajanan ini memiliki tampilan yang sangat cantik, karena dibuat dengan warna seperti pelangi, dan juga ada taburan parutan kelapa.

Melansir berbagai sumber sebenarnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang kreasi dari jajanan ini.

Zaman dahulu, masyarakat Jawa mengalami krisis pangan yang parah, sehingga masyarakat Jawa mengganti nasi dengan singkong yang kini diolah menjadi jajanan tradisional getuk lindri.

Diambil dari Kata ‘tuk-tuk’

Ada sejarah yang sangat menarik dibalik nama makanan tradisional yang satu ini. Kata ‘Getuk’ diambil dari bunyi yang dihasilkan dari aktivitas menumbuk singkong hingga halus yang berbunyi “tuk-tuk”. Adapun kata ‘Lindri’ diambil dari proses pembuatan, tepatnya adonan yang digulung.

Seorang sejarawan bernama J. FX. Horey mengatakan, kata ‘lindri’ berasal dari nama alat guling pembuatan makanan itu sendiri. Sehingga digabungkan menjadi nama Getuk Lindri.

Ada Sejak Zaman Kolonial Belanda

Jajanan tradisional ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan, bangsa Indonesia saat itu mengalami masalah pangan seperti beras. Karena itulah masyarakat di Indonesia mengganti nasi dengan singkong.

Saat itu, singkong tumbuh subur di mana-mana. Kemudian masyarakat mengolah singkong tersebut. Dan pembuatan makanan ini dipelopori oleh salah satu masyarakat dari desa Karet, Magelang, Jawa Tengah yaitu Mbah Mohtar.

Filosofi

Selain rasanya yang enak, getuk lindri juga memiliki filosofi yang cukup dalam. Kabarnya, menurut masyarakat Jawa, jajanan ini merupakan simbol kesederhanaan. Selain itu kue tradisional ini mengingatkan masyarakat di Jawa untuk selalu bersyukur dalam hal apapun.

Ciri Khas

Umumnya makanan yang bahan dasarnya terbuat dari singkong ini diberi taburan parutan kelapa di atasnya. Ciri khas lainnya adalah setiap satu makanannya berwarna-warni sehingga terlihat lebih unik dan menarik perhatian orang yang melihatnya.

Jadi Tradisi di Magelang

Magelang adalah kota asal terciptanya getuk lindri. Di kota Magelang ada tradisi yang disebut Gerebek Getuk. Tradisi ini biasanya akan diadakan di alun-alun kota Magelang. Tradisi ini juga sebagai tanda hari jadi kota Magelang.

Dalam tradisi ini akan ada dua Gunung Getuk yang sangat unik dan menarik dengan peringatan terang benderang. Gunungan diperuntukan bagi kalangan tertentu, misalnya untuk gunungan wanita berbentuk bulat, sedangkan untuk pria gunungan memiliki tepian yang tajam.

Jadi KIK Kabupaten Kediri

Kabupaten Kediri menerima surat inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) untuk makanan ini.

Berdasarkan data yang diterima Metara, Getuk Lindri menerima KIK dengan kustodian Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kediri.

“Dalam rangka perlindungan Pengetahuan Tradisional (PT) berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan: Nama Pengetahuan Tradisional Kustodian Jenis Pengetahuan Tradisional; GETUK LINDRI Wilayah/Lokasi Kabupaten Kediri, Jawa Timur Adalah benar telah didokumentasi dan diarsipkan dalam Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) Indonesia.” tulis surat inventarisasi dari Kementrian Hukum dan HAM yang diterima Metara Jum’at (3/3/2023).

Dalam hal ini Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kediri sebagai pelapor dengan nomor pencatatan PT35202300036.

“Surat Pencatatan Inventarisasi Pengetahuan Tradisional ini sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” tulis di surat tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *