Kisah Berdarah di Balik Mitos ‘Haramnya’ Pernikahan Warga Kediri dan Lamongan

Pernikahan Warga Kediri dan Lamongan
Ilustrasi Pernikahan (Freepik)

Metaranews.co, Kediri – “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir”, kata-kata dari Sujiwo Tejo itu sangat membekas dibenak Saddam Khoirul Anam.

Lantaran hubungan yang ia jalin dengan perempuan yang dicintai tidak bisa berlanjut ke pelaminan.

Bacaan Lainnya

Penyebabnya tak masuk diakal, yang mana menurut ‘pitutur’ orang tua jika orang Kediri menikah dengan orang Lamongan maka akan terjadi masalah besar dalam keluarga nantinya.

Sadam sendiri merupakan warga Kota Kediri, dan sang perempuan yang dicintainya berasal dari Kabupaten Lamongan.

Laki-laki 27 tahun itu mengaku dibesarkan oleh orang tua yang masih memegang erat aturan-aturan orang tua zaman dahulu.

“Ada beberapa hal yang akhirnya membuat saya tidak jadi menikah dengan perempuan pilihan saya, salah satunya karena saya Kediri dan perempuan yang saya cintai itu dari Lamongan,” kata Saddam kepada Metaranews.co belum lama ini.

Pilihan berat-pun harus diambilnya, meninggalkan hubungan yang sudah dijalinnya selama empat tahun, dan menjauh dari sang kekasih yang memang ia idam-idamkan menjadi pendamping hidup.

Akhirnya, ihwal perasaan ia hempaskan jauh dari pikirannya. Meski tak mudah, namun mau tidak mau pilihan terbaik baginya adalah menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.

“Tentu sangat berat, apalagi ini mengenai aturan yang bagi saya sangat tidak masuk di akal. Bayangkan, tanpa rumusan, tanpa asal-usul yang jelas, ada aturan yang membatasi. Jika melanggar seolah kita melanggar norma, dan kita akan mendapatkan ganjaran berat,” tuturnya.

“Tapi saya ikhlas, biar bagaimanapun orang tua tetap yang utama,” lanjut Saddam.

Hal serupa dirasakan Fajar. Ia merupakan orang Lamongan yang berjualan di Kabupaten Kediri. Kepada Metaranews.co, ia bercerita sempat gagal menikah karena aturan teritorial seperti Sadam.

Sepenggal ceritanya, ia akhirnya memilih untuk tidak meneruskan impiannya menikah dengan perempuan idaman dari Kota Tahu, karena orang tuanya sangat mengecam hubungannya dengan sang kekasih.

“Orang tua saya frontal, dari awal tidak menyetujui hubungan kami, tapi saya meneruskannya siapa tahu ada kelonggaran,” kelakarnya.

Rupanya bukan restu yang didapat, hubungan yang sudah dijalani selama lima tahun malah membuatnya terdampar lama dalam kesedihan.

Karena tak dapat restu, sang kekasih akhirnya menikah dengan orang lain.

“Akhirnya harus ikhlas menerima kenyataan bahwa dia bukan milik saya,” ucapnya.

Pegiat Sejarah, Sigit Widyatmoko mengatakan, adanya mitos orang Kediri tidak boleh menikah dengan orang Lamongan dilatarbelakangi beberapa cerita.

Di antaranya kisah perjodohan antara Puri Adipati Kediri dan Putra Adipati Lamongan.

Perjodohan itu akhirnya gagal, lantaran dari kedua keluarga rupanya masih ada hubungan kerabat.

“Karena masih kerabat akhirnya diputuskan untuk tidak jadi menikah, dari zaman dahulu itu pernikahan sedarah dipercaya akan membawa hal buruk,” jelas Sigit, Sabtu (21/1/2022).

Cerita itu akhirnya menyebar di masyarakat, dan kemudian hari ada narasi jika ada pernikahan antara orang Kediri dan Lamongan, maka akan menimbulkan hal-hal yang kurang baik.

Versi cerita yang kedua yakni pernah terjadi perang saudara antara Adipati Kediri dan Adipati Lamongan.

Cerita itu bermula dari Adipati Kediri yang memiliki dua putri kembar yakni Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi.

Sang Adipati mendapat kabar bahwa Adipati Lamongan, yakni Raden Panji Puspokusumo yang notabene keturunan Raja ke-14 Majapahit Hayam Wuruk juga memiliki dua putra kembar yakni Panji Laras dan Panji Liris.

Adipati Kediri kemudian ingin menjadi dermawan Adipati Lamongan. Merasa bingung dengan lamaran Adipati Kediri, Adipati Lamongan mengajukan beberapa syarat.

“Syaratnya Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi wajib masuk Islam dan kedua dewi harus yang melamar, dan pengantin wanita harus datang ke Lamongan membawa hadiah berupa gentong air dan tikar yang terbuat dari batu,” papar Sigit.

Kemudian Adipati Kediri bersedia memenuhi semua persyaratan yang diajukan. Berangkatlah Andansari-Andanwangi ke Lamongan ditemani rombongan besar.

Panji Laras dan Panji Liris diminta oleh Raden Panji Puspokusumo untuk menjemput konvoi di perbatasan Lamongan, didampingi oleh Patih Lamongan Ki Patih Mbah Sabilan.

“Saat itu Lamongan sedang mengalami banjir akibat luapan Sungai Lamong, sehingga Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi harus mengangkat kain sampai paha agar kain tidak basah,” kata Sigit.

“Akibatnya Panji Laras dan Panji Liris bisa melihat kaki Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi ternyata berbulu, sehingga Panji Laras dan Panji Liris menolak menikahkan mereka dan meminta agar rencana pernikahan mereka dibatalkan,” imbuhnya.

Mendengar lamaran itu dibatalkan, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi merasa terhina dan malu. Mereka bunuh diri di depan Panji Laras dan Panji Liris.

Melihat junjungan mereka dipermalukan hingga bunuh diri, masyarakat Kediri menjadi marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris.

Perang antara kedua belah pihak tak terhindarkan, hingga berujung terbunuhnya Panji Laras, Panji Liris, dan Ki Patih Mbah Sabilan, serta Adipati Lamongan Raden Panji Puspokusumo.

Sebelum meninggal, Adipati Lamongan Raden Panji Puspokusumo berpesan agar tidak ada anak cucunya yang menikah dengan orang Kediri, dan itulah yang melatarbelakangi mitos yang melarang orang Lamongan menikah dengan orang Kediri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *