Metaranews.co, Kediri – Sebuah tugu tapal batas yang terpahat tulisan tahun 1123 Saka ditemukan di area penggalian tanah urug di Desa Kayunan, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.
Diketahui tugu tapal batas itu berdiameter tinggi 170 Cm dan tebal 76 Cm. Selain tugu, di lokasi juga ditemukan struktur batu bata, kaki patung dan umpak.
Salah satu saksi penemuan, Erwan Yudiono mengatakan penemuan tugu tapal batas tersebut terjadi pada Selasa (9/1/2023).
Ia mengaku awalnya dirinya tidak sengaja menemukan dan hanya karena penasaran.
“Awalnya saya melihat temuan padmasana di Desa Kayunan yang diamankan saudara Eko dan disimpan di rumahnya di Plaosan Kecamatan Plosoklaten yang berjarak 5 km dari lokasi. Karena penasaran akhirnya saya mendatangi lokasi tempat dimana padmasana ditemukan,” jelas Erwan, Kamis (11/1/2024).
“Disitu ternyata ada penggalian lahan untuk tanah urug. Ternyata disitu saat penggalian juga banyak ditemukan struktur batu bata dan juga tugu tapal batas yang berangka tahun 1123 saka era peninggalan Raja Kertajaya,” lanjut Erwan yang juga Wakil Ketua Pelestari Sejarah Budaya Khadiri.
Kabar penemuan itu akhirnya dilaporkan oleh Erwan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kediri serta Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) pada Kamis (11/1/2023).
Usai mendapat laporan, perwakilan Disparbud dan Ketua DK4 Imam Mubarok langsung meninjau lokasi.
“Ini temuan yang sangat luar biasa dan menambah kekayaan benda purbakala yang dimiliki Kediri dari peninggalan masa lalu. Desa Kayunan ini sudah lama menjadi penelitian ahli dari Belanda. Dan memang disini banyak ditemukan struktur bangunan purbaka, namun banyak juga yang dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dari dulu hingga sekarang,” kata Ketua DK4 Imam Mubarok, Kamis (11/1/2024).
Pemkab Didorong Bentuk LAD
Dari hal ini, Mubarok mendesak kepada Pemkab Kediri untuk segera membentuk Lembaga Adat Desa (LAD) di masing-masing desa di seluruh Kabupaten Kediri seperti yang telah direkomendasikan DK4 sesuai tugas dan wewenangnya berdasarkan Perbup 50/2021.
“Salah satu tujuannya mereka (LAD) bertugas menjaga benda purbakala yang ada di masing-masing wilayahnya agar tetap lestari jangan sampai dijarah dan dijual ke luar negeri. Sebab di Kayunan ini benda purbakala sudah banyak yang hilang baik dalam bentuk benda purbakala dan peninggalan perhiasan berupa emas. Selain itu penting kirannya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang UU 11/2010 tentang cagar budaya,” tegasnya.
Mubarok mengatakan bukti adanya benda purbakala yang hilang di Kayunan ternyata sudah ratusan tahun lalu terjadi. Menurut data wilayah tersebut awalnya dikuasai oleh Sri Sarweswara raja Panjalu yang memerintah sekitar tahun 1159-1169.
“Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa. Sri Sarweswara berkuasa setelah Prabu Jayabaya,” katanya.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Sarweswara naik takhta. Menurut Prasasti Jaring (1181 M), Sarweswara merebut tahta kerajaan Kadiri dari Jayabaya.
Menurut Mubarok peninggalan sejarah Sarweswara adalah Prasasti Padlegan II tanggal 23 September 1159. Sedangkan yang paling muda adalah Prasasti Kahyunan tertanggal 23 Februari 1161.
Prasasti Kayunan atau Kahyunan ditemukan oleh J. F. De Corte pada 1887 di Kayunan, distrik Sukorejo afdeeling Kediri. Publikasi paling awal mengenai batu yang bersangkutan datang dari catatan kolonial yang menyebut bahwa batu tersebut sudah dibuatkan abklatsnya. Pada batu dari Kayunan ini terdapat angka tahun 1082 Śaka dan nama Śrī Sarvveśvara Janardanāvatāre vijayāgra … sinhanādānivăryya-vīryya parākrama digjayottungadeva (NBG 26 1888: 12 & Bijl. II, IX).
Verbeek mencatat bahwa aksara dipahatkan pada keempat bidang batu, namun pada bagian belakang sudah rusak parah. Selain batu yang bersangkutan, di desa yang sama juga ditemukan arca bertangan empat yang sudah rusak serta arca Siwa dengan wujudnya sebagai guru (1891: 278, no. 573).
Hampir 20 tahun kemudian, Knebel melaporkan bahwa batu ini sudah tidak ditemukan lagi di Kayunan (1910: 270). Batu ini juga dimasukkan dalan daftar prasasti berangka tahun dari Jawa yang disusun oleh Krom (1911: 251).
Penulis yang sama juga mengulas batu ini secara singkat dalam kajiannya mengenai Kerajaan Kediri Krom berhasil melengkapi nama raja yang sebelumnya masih kosong, yaitu rake sirikan śr sarvveśvara janardanāvatāra vijayāgra(j)asamasinhanādānivăryya-vīryya parăkrame digjayottungadevanāma. Pada bagian akhir publikasi dilengkapi dengan peta sebaran temuan prasasti dari Kerajaan Kediri (1914: 242, 245-246).
Batu ini kemudian masuk dalam daftar prasasti yang disusun oleh Damais dan dinamakan dengan Prasasti Kahyunan/Kayunan Damais mencatat bahwa prasasti tersebut dikeluarkan pada tanggal 23 Februari 1161 Masehi (1952: 68-69, A. 156). Damais juga menjadi sarjana pertama yang menghadirkan bacaan (tujuh baris pertama) dari prasasti yang bersangkutan.
Dari bacaan Damais diketahui bahwa prasasti ini menyebut atau berkaitan dengan warga Desa Kahyunan (Ikanan thāni kahyunan (1955: 73). Publikasi-publikasi yang menyangkut mengenai prasasti ini kemudian dirangkum oleh Nakada (1982: 112–113, no. 177). Prasasti ini masih disebut pada beberapa terbitan selanjutnya (Eade & Gislen 2000: 87-89; Budi Santosa Wibowo 2001: 9). Namun keberadaan dari batu ini masih belum diketahui sampai saat ini.
“Perihal temuan ini juga sudah saya laporkan ke Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 11 dan tadi saya mendapat laporan akan segera ditindaklanjuti dengan mendatangi lokasi. Sementara untuk keamanan lokasi tadi saya sudah titip sama Pak Kades agar diawasi,” pungkas Gus Barok panggilan akrab Imam Mubarok.