Gonjang-Ganjing Harinjing

Metaranews.co
Prasasti Harinjing.

Hujan gerimis di Pare mengantarkan Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana untuk segera ke Desa Siman, Kecamatan Kepung. Langit sayup abu-abu itu merekam perjalanan Mas Dhito menuju hulu Sungai Serinjing, tepatnya Waduk Siman. Lokasi dimana nama Kadiri pertama kali tercatat dalam sebuah prasasati dari batu andesit, yang kini dikenal sebagai Prasasti Harinjing. Sayangnya, Prasasti Harinjing yang asli tak berada di Kediri. Mahakarya ini tengah disimpan di Museum Nasional Indonesia. Rencananya, Pemerintah Kabupaten Kediri ingin memulangkan prasasti ini ke Kediri.

Untuk memulangkan prasasti ini dibutuhkan daya upaya cukup besar. Yakni, Pemkab Kediri harus mempunyai museum yang memadai. Pemkab Kediri memang sudah memiliki Museum Daerah Bhagawanta Bari yang berada di belakang Kantor DPRD Kabupaten Kediri. Namun museum tersebut terlalu kecil untuk membawa pulang ratusan benda purbakala yang tersebar.

Bacaan Lainnya

Hal inilah yang membuat Mas Dhito, sapaan Bupati Kediri, bergegas menuju Desa Siman untuk berefleksi dengan warga sekitar tentang prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Kerajaan Medang Rakai Layang Dyah Tulodhong pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka atau 25 Maret 804 Masehi.

Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana berdiskusi dengan warga Desa Siman, Kecamatan Kepung didampingi Ketua DK4, Imam Mubarok. (Didin Saputro)

“Sore ini (Rabu, 23 Maret 2022) saya akan menginap di Siman dimana Prasasti Harinjing ini ditemukan. Saya mau lihat dulu, dimana tempat prasasti ini ditemukan, sejauh mana urgensinya untuk kita memulangkan prasasti ini, dan dimana nanti prasasti ini akan diletakkan. Karena didalam prasasti inilah ditulis bahwa nama kadiri atau kediri muncul pertama kali. Kalau ibarat kata orang bicara titik nol, maka titik nol Kabupaten Kediri atau mungkin Kediri raya itu ada di Desa Siman, Kecamatan Kepung,” terang Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana.

Setiba di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Mas Dhito berinteraksi dengan warga sekitar untuk membuat tasyukuran menjelang Hari Jadi Kabupaten Kediri ke-1218 tahun.

Selain itu, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Imam Mubarok, menuturkan bahwa ia telah mendorong Pemkab Kediri agar segera memenuhi syarat untuk memulangkan Prasasti Harinjing. Bahkan, tak hanya Prasasti Harinjing, ia juga berharap sekitar 500 benda purbakala lainnya bisa dipulangkan ke Kediri.

“Prasasti Harinjing saat ini berada di Museum Nasional Indonesia dan belum bisa dibawa pulang. Ada prasyarat bisa dibawa pulang berdasarkan komunikasi saya dengan Kasi Muskala Dinas Pariwasata dan Kebudayaan yakni berkirim surat kepada Presiden. Dan prasyarat itu sudah saya sampaikan kepada Mas Dhito. Jika bisa dibawa pulang ini akan menjadi sejarah, bahwa Bupati ke-25 bisa membawa pulang. Tidak hanya Harinjing semuanya nanti kami berharap bisa dibawa pulang,” kata Imam Mubarok, Ketua Dewan Kesenian dan kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4).

Mas Dhito syukuran bersama warga Desa Siman menjelang peringatan Hari Jadi Kabupaten Kediri ke-1218. (Didin Saputro)

Di sisi lain, penggiat budaya Kabupaten Kediri, Novi Bahrul Munif mengatakan, Prasasti Harinjing sangat penting untuk Kabupaten Kediri, karena Prasasti Harinjing menjadi jati diri untuk wilayah Kediri.

“Prasasti Harinjing sangat penting untuk Kediri, yang jelas karena bisa menjadi bukti sejarah masa lampau, dan prasasti ini yang mencatat Kadiri untuk pertama kalinya,” katanya.

Menurut Novi, prasasti yang ditemukan pada tahun 1916 di Perkebunan Onderneming Soekabumi, tepatnya di Desa Kampung Baru, Kecamatan Kepung tersebut memuat tulisan tentang pemberian tanah bebas pajak kepada Bhagawanta Bhari dan keluarganya.

“Prasasti ini adalah sebuah mahakarya yang menjadi Kebanggaan warga Kabupaten Kediri karena mencatat sejarah terbentuknya kali Serinjing yang menjadi irigasi yang dipakai hingga kini,” tuturnya.

Selain itu, ia juga mengatakan prasasti ini sangat penting karena Prasasti Harinjing menjadi bukti cerita tentang pemberian anugerah tanah bebas pajak kepada Bagawanta Bhari yang berhasil membuat saluran irigasi untuk memecah aliran Sungai Konto yang berhulu di Gunung Kelud. Upaya Bagawanta Bhari inilah yang membuat dia menerima anugerah tanah sima dari raja yang berkuasa saat itu. Pada saat Bagawanta Bhari melakukan upaya itu, daerah ini masuk wilayah kerajaan Mataram Kuno, atau juga dikenal dengan Kerajaan Medang, yang berpusat di Jawa Tengah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *