Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Di sebuah sudut Dusun Plongko, Kelurahan Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, deretan papan nama jalan menjadi saksi bisu sejarah dan jejak perjuangan Mochammad Yusuf.
Tidak hanya satu, tapi ada tiga jalan sekaligus yang dinamaui Mochammad Yusuf, yakni Jl Moch Yusuf I, Jl Moch Yusuf II, dan Jl Moch Yusuf III.
Nama tersebut bukan sekadar tulisan di papan besi, melainkan pengingat abadi akan seorang pemuda yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan Republik ini.
Sebelum dikenal dengan nama itu, kawasan ini dulunya dikenal dengan Jalan Kauman.
Namun, sejak peristiwa kelam tahun 1947, nama Kauman perlahan berganti. Perang pecah saat Agresi Militer Belanda I menerjang Pare, Kediri.
Dentuman senjata memecah sunyi, dan di jalan inilah Mochammad Yusuf menghembuskan napas terakhirnya, tertembak oleh serdadu Belanda.
Putra Daerah
Menurut pegiat sejarah Pare, Imron, Mochammad Yusuf pada masanya dikenal sebagai salah satu tokoh pelajar, pemuda asli dari Dusun Plongko, Pare.
Garis keturunan darah biru, kata Imron, juga mengalir di tubuh Mochammad Yusuf. Ayahnya ialah Raden Masmi’an, dan ibunya Raden Roro Umihatun.
“Beliau (Mochammad Yusuf) lahir dari pasangan Raden Masmi’an dan Raden Roro Umihatun, sekitar tahun 1920-an,” terang Imron kepada METARA, Rabu (13/8/2025).
Sejak muda, Mochammad Yusuf dikenal sebagai tokoh pelajar yang cerdas dan berpendidikan.
Bukan hanya kepintarannya yang menonjol, bahkan konon ia masih keturunan ke-13 dari Sunan Kudus, ulama sekaligus panglima perang Kesultanan Demak.
Garis darah biru itu mengalir melalui pernikahan-pernikahan bangsawan hingga sampai pada orang tuanya.
Pare Diterjang Belanda
Pada suatu waktu di tahun 1947, kabar buruk menyebar, pasukan Belanda akan menduduki Pare.
Warga yang mendengar kabar tersebut segera mengungsi ke desa-desa sekitar, meninggalkan Jalan Kauman.
Saat itu hanya tersisa para pejuang yang bertahan di garis depan, bersenjatakan senjata tajam dan beberapa senjata api.
Bentrok pun tak terelakkan. Di tengah baku tembak itulah Mochammad Yusuf gugur. Meski bukan pemimpin pasukan, keberadaannya membuat Belanda sempat was-was.
“Beliau adalah orang paling berpengaruh di pemukiman tersebut (Kauman). Makanya Belanda merasa khawatir,” terang Imron.
Jauhar Basuki Rahmad, keponakan Mochammad Yusuf, menuturkan bahwa pamannya itu tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki kedekatan unik dengan Presiden Soekarno.
“Pak Poh (paman) ini sering berkomunikasi sama pemerintah. Ibu (Hj Siti Choiriyah) bilangnya Soekarno,” klaimnya.
Hj Siti Choiriyah (87), ibu dari Jauhar, merupakan adik kandung Mochammad Yusuf, dan merupakan saudara Yusuf satu-satunya yang masih hidup.
Makam Tak Terawat
Ironisnya, meski namanya diabadikan di jalan tempat ia gugur, makam Mochammad Yusuf yang berada di Dusun Ketangi, Desa Bringin, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri, terkesan tak terawat.
Setelah pertempuran, jenazahnya diurus oleh kakaknya, Siti Maskhanah, yang mengungsi di sana.
“Bude Siti Maskhanah (kakak pertama Mochammad Yusuf) yang mengungsi di wilayah Ketangi. Jadi yang mengurus pemakaman adalah Bude Siti Maskhanah di tempat itu,” tutup Jauhar.
Kini, setiap orang yang melintas di tiga jalan yang menyandang namanya, mungkin tak banyak yang tahu siapa Mochammad Yusuf sebenarnya.
Namun, bagi keluarga, sahabat, dan sejarawan lokal, papan nama itu bukan sekadar penanda arah.
Ia adalah pengingat bahwa kemerdekaan lahir dari pengorbanan orang-orang yang bahkan mungkin tak sempat melihat Indonesia tumbuh seperti hari ini.