Perajin Gula Semut di Kediri Kewalahan Penuhi Permintaan Pasar Ekspor, Terkendala Modal dan Peralatan Poduksi

Gula Semut Kediri
Caption: Sri Wahyuni saat menimbang gula semut hasil produksinya, Kamis (13/2/2025). Doc: Darman/Meteranews.co

Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Guncono dan Sri Wahyuni, pasutri perajin gula semut asal Desa Nambaan, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tidak mampu memenuhi permintaan pasar mancanegara karena terkendala modal dan peralatan produksi.

Berawal dari pemasok gula merah ke salah satu pabrik kecap terbesar di Kediri pada tahun 1999 silam, pasutri ini banting setir menjadi perajin gula merah pada tahun 2014. Mereka mulai memproduksi gula merah dengan berbagai inovasi bentuk, seperti balok, tabun, dan koin.

Tak disangka, produk mereka diminati pasar lokal dan luar pulau. Pasutri ini terus berinovasi dengan melihat peluang di era modern, yang mana masyarakat lebih memilih hal yang praktis. Mereka pun mulai mengolah gula merah berbahan tebu menjadi gula semut atau gula kristal.

“Sebetulnya kita membangun usaha sejak tahun 2014, membuat gula merah dengan kemasan balok, bumbung, dan koin. Kemudian tahun 2018 kita melihat peluang bikin gula semut, karena kita melihat masyarkat lebih suka hal yang praktis saat memasak atau membuat minuman,” kata Sri Wahyuni saat ditemui di rumah produksinya, Kamis (13/2/2025).

Untuk mewujudkan keinginannya, Guncono rela belajar membuat gula semut ke Yogyakarta dengan biaya sendiri selama lima hari.

Berbekal ilmu yang didapat, inovasinya ternyata diterima pasar dengan baik. Peminatnya tidak hanya datang dari sekitar Kediri, tetapi juga dari Tulungagung, Blitar, Nganjuk, Jombang, Manado, Bandung, Papua, bahkan dari mancanegara seperti Jepang dan Malaysia.

Sayangnya, permintaan dari mancanegara tidak dapat dipenuhi karena keterbatasan modal dan peralatan produksi berkapasitas besar.

Proses produksi yang dilakukan Guncono dan istri masih manual, membuat mereka hanya mampu menghasilkan sekitar 200 kilogram gula semut per hari.

“Jepang itu sempat kirim sepuluh pieces, ke Malayasia kirim satu ton. Sebetulnya dapat orderan dalam satu minggu tujuh ton, (tapi) mengingat kita itu ada kendala di alat dengan kapasitas besar kita belum punya, karena prosesnya masih manual. Kendala berikutnya permodalan,” jelasnya.

Kendala lain yang dihadapi adalah saat musim penghujan seperti saat ini. Proses pengeringan dengan sinar matahari setelah gula berbentuk kristal menjadi terhambat.

Harga gula semut produksi Guncono dan Sri Wahyuni dijual curah seharga Rp 25.000 per kilogram. Sedangkan untuk kemasan 250 gram dijual seharga Rp 20.000. Dalam satu minggu, mereka mampu menjual antara 200 hingga 250 kilogram.

Mereka berharap ada pihak yang peduli dan membantu permodalan dan peralatan, terutama pemerintah, agar mereka dapat mengembangkan usaha.

“Kalua ada permintaan yang banyak kita mempekerjakan tetangga sampai delapan orang. Kita berharap ada bantuan modal dan peralatan dengan kapasitas besar, agar bisa mengembangkan usaha kita,” pungkasnya.

Pos terkait