Perda PPA dan Korban Kekerasan Disahkan, WCC Jombang Soroti Pasal yang Dinilai Normatif

Jombang
Caption: Proses pengesahan Raperda PPA dan Korban Kekerasan di DPRD Jombang, Kamis (17/4/2025). Doc: Karimatul Maslahah/Metaranews.co

Metaranews.co, Kabupaten Jombang – Woman Crisis Center (WCC) Jombang menyoroti pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang.

Direktur WCC Jombang, Ana Abdillah, menilai penyusunan draf perda tersebut masih terlalu dangkal, dan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil di lapangan. Ia juga menyoroti beberapa pasal yang dinilai terlalu normatif.

Bacaan Lainnya

“Secara umum kami menilai regulasi ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil di lapangan. Beberapa pasal masih bersifat normatif, dan belum didasarkan pada kendala korban dan pendamping korban sesuai dengan konteks di daerah, dan belum menegaskan mekanisme pelindungan yang komprehensif, termasuk aspek pendanaan, layanan terpadu, hingga perlindungan saksi dan korban,” ujarnya, Senin (21/4/2025).

Data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Jombang, tercatat ada peningkatan signifikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sejak Januari hingga November 2024, terdapat 222 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Santri, meningkat dari 133 kasus pada tahun 2023.

Lebih lanjut, WCC Jombang menemukan tren mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual dalam kurun waktu tiga tahun dari 2022 hingga 2024).

Dari total 148 kasus yang mereka tangani, 17 persen atau 26 kasus pelakunya adalah ayah kandung dan ayah tiri.

“Hal ini menunjukan banyak kekerasan terjadi dalam lingkungan keluarga, yang sering dianggap sebagai tempat yang nyaman bebas kekerasan,” kata dia.

Menurutnya, Raperda yang disahkan pada Kamis (17/4/2025) tersebut belum secara tegas mengatur kewajiban pemerintah daerah untuk membangun dan mengkoordinasikan mekanisme jejaring lintas sektor.

Jejaring ini, kata Ana, idealnya melibatkan dinas kesehatan, aparat penegak hukum, lembaga desa, serta penyedia layanan perlindungan berbasis masyarakat dalam upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan.

“Bahwa dalam pasal 28 Raperda ini hanya memuat penguatan jaringan yang masih diperuntukkan bagi jejaring antarUPTD, belum antarjejaring yang ada di daerah. Belum mengatur ragam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,” lontarnya.

Ana berharap regulasi ini tidak sekadar menjadi dokumen hukum formalitas, melainkan instrumen perlindungan yang nyata dan berpihak pada korban.

“Kami mendesak agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jombang tidak hanya berhenti pada pendekatan legal-formal, tetapi juga memastikan Raperda ini menjadi instrumen hukum yang berpihak pada korban, serta mampu menjawab realitas sosial yang dihadapi perempuan dan anak di Kabupaten Jombang,” harapnya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, menyatakan bahwa setelah disahkan bersama bupati, Pemkab dan DPRD akan mengimplementasikan Perda PPA korban kekerasan sesuai dengan kemampuan daerah.

“Sudah kita sahkan, dan kita implementasikan Perda itu sesuai dengan kemampuan daerah,” jelasnya.

Sebelumnya, tutur Hadi, pihaknya telah menyampaikan kepada para aktivis bahwa Perda tersebut telah mengakomodasi kebutuhan di Jombang, dan juga telah melibatkan lintas sektor dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkup Pemkab Jombang.

“Implementasi itu sesuai kondisi realita di Jombang, dan tentu kemampuan keuangan daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang yang akan terlibat dalam bidang pendidikan. Nanti teman- teman aktivis, LSM, dilibatkan semua,” tutupnya.

Pos terkait