Metaranews.co, Kabupaten Kediri – Menjelang Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025, kekhawatiran akan praktik Pungutan Liar (Pungli) berkedok sumbangan sekolah kembali menghantui para wali murid di Kabupaten Kediri.
Saat ini, calon peserta didik tengah disibukkan mencari informasi terkait mekanisme pendaftaran dan mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk masuk ke jenjang pendidikan baik di SMP maupun SMA sederajat.
Di sisi lain, para wali murid juga mulai menyiapkan biaya untuk pendidikan anak mereka ke jenjang selanjutnya.
Namun, keresahan akan potensi biaya tak terduga dari pihak sekolah masih membayangi benak banyak orang tua.
Musababnya – dari yang sudah-sudah – banyak wali murid yang mengaku mendapatkan pungutan dari pihak sekolah, setelah anak mereka diterima di sekolahan tersebut.
Hal itu seperti yang dialami oleh P, wali murid yang menyekolahkan anaknya di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
Ia mengaku terkejut dengan adanya ketentuan pembayaran “uang gedung”, yang tidak disosialisasikan di awal pendaftaran.
“Saya kaget, di awal pendaftaran tidak disebutkan apa saja yang harus dilakukan oleh anak saya sebagai murid di sekolah itu,” ucap P kepada METARA, Senin (19/5/2025).
P yang merupakan bapak dari pelajar yang kini duduk di bangku kelas Xl ini semakin tercengang, karena “uang gedung” yang harus dibayar jumlahnya jutaan rupiah.
“Rp 2 juta kasnya (uang gedung). Saat itu saya mendapatkan informasi selang dua bulan setelah anak saya diterima,” ungkapnya.
Selain biaya “uang gedung”, ia juga diharuskan membayar biaya seragam sekolah yang dinilainya tidak wajar, yakni Rp 1.730.000 untuk lima pasang seragam, belum termasuk ongkos jahit.
“Rp 1.730.000, itu hanya berupa kain, belum dijahitkan. Kalau dijahit kemungkinan ya Rp 2 juta pas lah,” tuturnya.
Seragam yang dibeli tersebut meliputi dua setel seragam abu-abu putih, seragam batik, seragam khas sekolah, dan seragam pramuka.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh E, wali murid yang kebetulan menyekolahkan anaknya di sekolah yang sama dengan anak dari P.
Sebenarnya E tidak terlalu mempermasalahkan adanya biaya tambahan tersebut. Namun ia menyayangkan kurangnya transparansi dari pihak sekolah.
“Mungkin jika memang ada peraturan seperti itu, alangkah baiknya bisa dibicarakan di awal ya. Kalau dadakan kan kaget jadinya,” tutupnya.
Terkait praktik Pungli yang diduga terjadi di SMA Negeri di Kecamatan Pare, METARA telah mencoba mengonfirmasi hal ini ke Kepala Cabang Dinas Pendidikan (Cabdisdik) Provinsi Jawa Timur Wilayah Kediri, Adi Prayitno.
Namun Adi mengarahkan untuk menghubungi Humas Cabdisdik Provinsi Jawa Timur Wilayah Kediri, Hari Utomo. Hanya saja Hari tidak mengangkat telepon METARA.